REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin mengatakan, ada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang galau terkait akan dilakukannya gelar perkara kasus Hambalang termasuk penentuan status Anas Urbaningrum dalam proyek tersebut.
"Yang saya lihat begini, Mas Anas yang mau jadi tersangka, tapi malah pimpinan KPK yang galau," kata Nazaruddin di Gedung KPK Jakarta, Kamis. Dia mengatakan, kegalauan pimpinan KPK dalam menentukan status Anas itu disebabkan adanya konflik kepentingan didalamnya.
Menurut dia, bukti keterlibatan Anas dalam kasus itu sudah jelas sehingga tidak ada alasan untuk KPK ragu menetapkan yang bersangkutan jadi tersangka.
"Kalau Anas tidak dijadikan tersangka, kita harus pertanyakan kredibilitas KPK," ujarnya.
Menurut dia, ada dua pimpinan KPK yang tidak mau Anas dijadikan tersangka dalam kasus itu.
Namun saat didesak kedua nama pimpinan KPK yang dimaksud, Nazar hanya memberikan isyarat bahwa keduanya tidak menandatangani dokumen yang diduga Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) yang sempat beredar di media. "Ada dua orang dari lima pimpinan KPK, mereka adalah yang belum neken (Sprindik)," ungkapnya.
Sebelumnya, KPK memastikan akan menggelar perkara kasus sport center Hambalang pada Jumat (22/2) untuk mengetahui perkembangan kasus tersebut. "Kepastian gelar perkara Hambalang sudah diputuskan akan dilakukan Jumat (22/2)," kata Juru Bicara KPK Johan Budi di Jakarta, Kamis.
Dia mengatakan, gelar perkara yang akan dilakukan tidak terkait dengan penentuan nasib seseorang dalam kasus tersebut. Menurut dia gelar perkara itu akan menentukan apakah KPK menemukan dua alat bukti yang cukup untuk menjadi tersangka.
Dalam audit BPK terkait proyek Hambalang menyimpulkan ada indikasi penyimpangan peraturan perundang-undangan dan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan berbagai pihak dalam proyek Hambalang. Indikasi kerugian negara sampai pemeriksaan per 30 Oktober 2012 mencapai Rp 243,66 miliar.
Salah satu temuan penyimpangan BPK, yaitu terkait kontrak tahun jamak bahwa Menteri Keuangan menyetujui kontrak tahun jamak dan Dirjen Anggaran menyelesaikan proses persetujuan kontrak tahun jamak setelah melalui proses penelaah secara berjenjang secara bersama-sama.
Padahal menurut BPK kontrak tahun jamak itu diduga melanggar PMK 56/PMK.02/2010.
Pelanggaran itu antara lain, tidak seluruh unit bangunan yang hendak dibangun secara teknis harus dilaksanakan dalam waktu lebih dari satu tahun anggaran.
Selain itu, permohonan persetujuan kontrak tahun jamak tidak diajukan oleh menteri. Terakhir, revisi Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL) Kemenpora 2010 yang menunjukkan kegiatan lebih dari satu tahun anggaran belum ditandatangani oleh Dirjen Anggaran.
Lalu terkait persetujuan RKA-KL 2011, Dirjen Anggaran menetapkan RKA-KL Kemenpora tahun 2011 dengan skema tahun jamak sebelum penetapan proyek tahun jamak disetujui. Dirjen Anggaran diduga melanggar PMK 104 /PMK.02/2010.
Dalam kasus itu KPK telah menetapkan mantan Menpora Andi Alfian Malarangeng dan Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Deddy Kusdinar sebagai tersangka.
Andi ditetapkan sebagai tersangka dalam kapasitasnya sebagai Menpora dan pengguna anggaran proyek Hambalang. Andi disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 dan atau pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 3 mengatur soal penyalahgunaan kewenangan yang menyebabkan kerugian negara. Sementara pasal 2 ayat 1 mengatur soal melakukan pelanggaran hukum yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan KPK pun telah mengeluarkan surat perintah cegah terhadap Andi Mallarangeng.
Deddy ditetapkan tersangka terkait jabatannya dulu sebagai Kepala Biro Perencanaan Kemenpora. Deddy diduga telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK).
KPK menyangkakan Deddy dengan pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP.
KPK mulai menyelidiki kasus Hambalang sejak Agustus 2011. Setidaknya ada dua peristiwa yang terindikasi korupsi dalam proyek Hambalang yangg ditaksir KPK mencapai Rp2,5 triliun. Pertama, pada proses penerbitan sertifikat tanah Hambalang di Jawa Barat dan pengadaan proyek Hambalang yang dilakukan secara multiyears.