REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Mantan kurator PT Telkomsel Feri S Samad masih membuka pintu mediasi dengan anak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Telkom Tbk tersebut untuk bermusyawarah terkait imbalan jasa menjalankan tugas sebagai kurator selama 119 hari.
Kurator adalah balai harta peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitur pailit di bawah pengawasan hakim pengawas sesuai dengan Undang-undang Pailit No 37/2004.
"Telkomsel itu pernah pailit selama 119 hari terhitung sejak 14 September 2012 hingga 10 Januari 2013. Jadi, jangan dibilang tidak pernah pailit. Selama periode itu kami menjalankan tugas sebagai kurator," kata Feri, dalam jumpa pers di Jakarta, Senin.
Dia mengungkapkan bahwa selama menjalankan tugas, pihak kurator mengeluarkan biaya sekitar Rp 240 juta untuk pembayaran iklan, pemberitahuan kreditur, mengirim berkas, dan lainnya.
Ketika pailit itu kami harus verifikasi tagihan dari 178 kreditur dengan total tagihan mencapai Rp 13,7 triliun. Kami tidak terima uang sama sekali dari Telkomsel selama bekerja. Bahkan untuk parkir sehari Rp 70 ribu, kami bayar sendiri. Kami hanya pernah sekali dibayar makan siang berupa nasi bungkus, catat itu," kata Feri.
Dijelaskannya, terdapat tiga unsur yang menentukan imbalan kerja kurator yakni kerumitan, profesional, dan waktu kerja. "Ada yang bilang harusnya berdasarkan jam kerja. Kata siapa kurator berdasarkan jam kerja, begitu Telkomsel diputus pailit siang itu (14 September 2012), kami langsung bertanggungjawab sejak pukul 00.00 WIB, berarti itu dihitung mundur. Bagaimana bisa dibilang jam-jaman," tegasnya.
Ia mengatakan dalam pembayaran fee atau imbalan bagi kurator, selama ini jarang yang sesuai dengan besaran penetapan. Pasalnya, pintu mediasi antara kedua belah pihak selalu terbuka.
"Dalam sejarah tidak pernah ada penetapan kasus pailit imbalannya dibayar penuh sesuai putusan pengadilan. Semua bisa dimusyawarahkan, bisa dinego. Mau dapat setengahnya syukur, 10 persen pun tidak apa-apa," jelasnya.
Diprediksinya, dengan langkah Telkomsel yang menolak pembayaran saat jatuh tempo pada Jumat (15/2) lalu, maka upaya hukum yang dilakukan Telkomsel adalah melakukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
"Tidak ada sejarahnya pihak yang menolak imbalan pailit itu menang. Karena itu kami yakin menang. Apalagi saya sudah berniat imbalan yang saya dapat setelah dipotong pajak maksimal 30 persen dan dibagi dua rekan kurator lainnya, seluruh bagian saya akan dihibahkan ke enam panti asuhan dan kaum duafa," jelasnya.
Secara terpisah, Tim Kuasa Hukum Telkomsel berencana melaporkan masalah penetapan fee kurator senilai Rp 146,808 miliar ke Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mendapatkan keadilan dan menghindari kerugian negara.
"Kami sudah baca di media online komentar dari Pengadilan Niaga Jakarta Pusat (PN Jakpus) terkait masalah penetapan fee kurator kepada klien kami, Telkomsel. Kami berencana melapor ke MA dulu, setelah itu ke Komisi Yudisial (KY), bahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk meminta keadilan terhadap yang terjadi pada Telkomsel," tegas Andri.
Diharapkannya, MA mau turun tangan untuk melihat masalah penetapan tersebut karena sarat dengan dugaan praktik konspirasi yang mengarah ke mafia peradilan.
"Kami harapkan MA turun tangan dan beraksi cepat untuk memeriksa dugaan konspirasi tersebut. Jika memang terbukti ada permainan oknum, sebaiknya dilakukan rotasi dan sanksi terhadap yang terlibat agar ada efek jera," ujar Andri.
Ditegaskannya, langkah untuk menuntut keadilan ke MA, KY atau KPK sebenarnya bukan hanya untuk Telkomsel, tetapi bagi perusahaan lain yang kemungkinan senasib dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu.
"Kali ini dialami Telkomsel dan berani melawan. Kita bicara ini untuk kondusifnya iklim berinvestasi di Indonesia agar memberikan kepastian hukum dan keadilan sebenarnya," tandasnya.