Selasa 12 Feb 2013 18:30 WIB
Mafia Impor Daging Sapi (3-habis)

Ini Cara Main Mafia Impor Daging Sapi

Daging sapi impor (Ilustrasi)
Daging sapi impor (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harga daging sapi belakangan melonjak tajam. Dikatakan, naiknya harga tersebut lantaran dampak dari terbatasnya suplai daging di pasaran. Ini juga erat kaitannya dengan pembatasan kuota impor daging sapi dan minimnya produksi dalam negeri.

Berikut paparan Ekonom Sustainable Development-Indonesia (SDI), Dradjad H Wibowo mengenai penyebab naiknya harga daging sapi tersebut. Di sini juga akan dipaparkan permainan kelompok mafia yang mengatur ketersediaan daging. Mereka juga yang paling bertanggung jawab terkait harga daging di pasaran.

Kasus mafia impor daging sapi merupakan salah satu contoh dari pengerukan uang haram di sektor pangan. Data yang dikemukakan di sini adalah berdasarkan laporan yang tidak dipublikasikan dari sebuah lembaga resmi negara.

Sama seperti mafia impor kedele yang sebelumnya saya ungkap, impor daging sapi sebenarnya hanya dikuasai segelintir pemain saja. Tepatnya 12 pemain.

Pemerintah melalui Kementerian Pertanian lalu seolah-olah akan mendobrak dominasi 12 pemain ini. Yaitu dengan membuka sebanyak mungkin pemain baru. Namun faktanya, sebagian besar pemain baru tersebut hanya berjualan ijin saja. Atau hanya dipinjam sebagai bendera. Kalaupun benar-benar mengimpor, jumlahnya sangat kecil.

Itulah sebabnya mengapa mekanisme kuota justru memudahkan pembagian uang haram. Pemain baru tersebut lebih senang mengambil fee yang dihitung per kilogram (kg) daging. Tentu ada oknum tertentu, dari parpol atau non-parpol, yang mem-back up pemain baru ini. 

Sementara ke-12 pemain tersebut tetap juga mendapatkan kuota. Namun harus membayar fee tertentu kepada mereka membantu mendapatkan kuota. Dari mana mereka bisa menutup fee tersebut? Berikut penjelasannya.

Pertama, dari pembebasan PPN. Dengan berbagai alasan, mafia impor berhasil memperjuangkan pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas impor daging. Akibatnya, selama periode Januari 2010 sampai Juli 2011, negara kehilangan PPN sebesar Rp 546 miliar. Hanya dari daging sapi (termasuk jeroan).

Berdasarkan data base Ditjen Bea cukai, jumlah impor daging sapi 2010 sebanyak 90.541.414 kg daging dan 49.599.762 kg jeroan/daging sisa. Jadi totalnya 140.141.176 kg.

Untuk periode Januari-Juni 2011 jumlah impornya 25.080.734 kg daging dan 16.398.425 kg jeroan/daging sisa. Totalnya adalah 41.479.159 kg.

Jumlah PPN yang harus dibayar sebesar Rp 548.803.681.353,00 atau Rp 548,8 miliar. Ini dibebankan kepada 49 importir. 

Dari jumlah tersebut, yang dibayarkan kepada negara hanya Rp 2,8 miliar. Sisanya yang Rp 546 milyar dibebaskan. Sehingga menjadi tambahan keuntungan importir.

Apakah rakyat Indonesia diuntungkan dari pembebasan PPN ini? Tidak sama sekali. Negara kehilangan penerimaan. Sementara rakyat tetap dibebani harga daging yang melonjak-lonjak.

Yang unik, jumlah pembebasan PPN di atas ternyata setara dengan fee haram yang harus dibayarkan importir kepada oknum-oknum yang "membantu" mereka. 

Informasi yang beredar di lapangan, fee tersebut besarnya Rp 5 ribu per kg daging dan Rp 2 ribu per kg jeroan/daging sisa. Jika dikalikan data impor di atas, diperoleh angka sekitar Rp 452,5 milyar ditambah Rp 99 milyar, yaitu Rp 551,5 milyar.

Dengan kata lain, bisa dikatakan fee atau sebenarnya sogokan untuk oknum-oknum parpol dan non-parpol tersebut dibiayai dari pembebasan PPN. Para penegak hukum sebaiknya mulai menyelidiki dan menyidik pembebasan PPN ini.

Kedua, dari pemindahan klasifikasi antara daging sapi dengan jeroan/daging sisa. Importir harus membayar bea masuk sebesar lima persen terhadap nilai pabean dari barang yang diimpor. Nilai paben dihitung berdasarkan harga CIF (cost, insurance and freight). Atau nilai patokan tertentu yang ditetapkan oleh Ditjen Bea Cukai.

Karena harga CIF jeroan/daging sisa lebih rendah dari daging, importir yang nakal akan mengurangi kewajiban bea masuknya. Yaitu dengan melaporkan seolah-olah dia mengimpor jeroan/daging sisa. Padahal yang diimpor adalah daging.

Modus ini terbukti dalam kasus empat perusahaan importir. Yaitu IGU, IP, SLP dan BMA. Ini setelah laporan impor yang tercatat pada Ditjen BC (DJBC) dibandingkan dengan yang tercatat pada Badan Karantina Pertanian (Barantan), Kementerian Pertanian.

Selama periode Januari 2010-Juni 2011 diketahui jumlah impor daging keempat perusahaan tersebut yaitu 13.453.271,13 kg (data DJBC). Sementara data Barantan sebanyak 28.331.263,72 kg. Artinya, data impor daging di DJBC ternyata 14,9 ribu ton lebih rendah dari data Barantan.

Sementara untuk impor jeroan/daging sisa, data DJBC sebesar 30.993.006,85 kg. Sedangkan data Barantan 7.841.980,59 kg. Artinya, data DJBC 23,2 ribu ton lebih besar dari Barantan.

Karena harga CIF daging sapi lebih mahal dari jeroan/daging sisa, jelas negara kehilangan penerimaan bea masuk. Dokumen yang saya peroleh menyebutkan negara kehilangan potensi penerimaan bea masuk, PPN dan PPh sebesar Rp 48,5 milyar. Angka tersebut baru untuk empat importir.

Sebagai catatan, kode Harmonized System (HS Code) untuk daging sapi adalah HS 0201 dan 0202. Sementara untuk jeroan/daging sisa masuk HS 0206. Penegak hukum juga perlu menyelidiki dan menyidik manipulasi data impor ini.

Ketiga, sumber lainnya adalah permainan harga di pasar. Namun estimasinya jauh lebih sulit dilakukan.

Uraian ringkas di atas menunjukkan, mafia impor daging bermain di semua lini. Mulai dari hulu ke hilir untuk mengamankan permainannya. Dari 'Ragunan' hingga 'Lapangan Banteng'. Dari formulasi kebijakan hingga hal-hal kecil. Seperti pelaporan impor. Ini adalah ciri khas yang juga terdapat pada mafia impor pangan lainnya.

Pemindahan HS Code misalnya. Sulit bisa dibayangkan bisa mulus terjadi tanpa kerjasama dengan oknum DJBC. Bagaimana mungkin dengan segala peralatan yang canggih dan super mahal, DJBC bisa kebobolan sebanyak itu hanya untuk empat importir? Mengapa tidak dilakukan cek silang dengan Barantan?

Yang jelas, dari semua permainan mafia impor, ujung-ujungnya sama. Negara kehilangan potensi penerimaan, rakyat dipermainkan oleh harga pangan yang melonjak-lonjak. 

Sementara para pemain dan oknum yang mem-back up-nya memperoleh uang banyak dengan mudah dalam waktu yang singkat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement