Rabu 06 Feb 2013 13:30 WIB

Kemenhut Usul Pengadilan Khusus Bagi Pembalak Liar

Rep: Meiliani Fauziah/ Red: Nidia Zuraya
Kerusakan hutan
Foto: Darmawan/Republika
Kerusakan hutan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembalakan liar di hutan nusantara kembali menjadi prioritas Kementerian Kehutanan (Kemenhut) untuk diselesaikan. Kali ini fokusnya terletak pada pembentukan  lembaga yang mempunyai otoritas penuh untuk mengusut kasus pembalakan liar.

Pemerintah kerap mengalami kebuntuan karena kasus pembalakan tidak mempunyai otoritas hukum yang kuat."Keputusan menteri dan intruksi presiden tidak cukup kuat," ujar Sekertaris Jenderal Kemenhut, Hadi Daryanto di Aryadutha Hotel,  Rabu (6/2)

Kelemahan ini membuat pemerintah tidak berkutik untuk melakukan penyidikan dan penyelidikan yang menyeluruh. Pemerintah tidak mempunyai kewenangan melakukan penyadapan untuk mengumpulkan alat bukti.

Pembalakan liar dikatakan Hadi merupakan kejahatan yang terorganisir. Untuk itu dibutuhkan sebuah lembaga independen guna mengatasi kasus ini. Lebih jauh, kegiatan pembalakan liar belum menjadi prioritas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Karena itulah Kemenhut mengusulkan dibentuknya pengadilan tersendiri untuk kasus pembalakan liar.

Namun, diakui Hdi, pemerintah tidak mau gegabah dalam membuat undang-undang dan hukum pidana. Undang-undang yang sedang diusulkan ini nantinya juga membidik para perambah. Berkaca dari pengalaman sebelumnya, instruksi Presiden (Inpres) No 4 Tahun 2005 yang mengatur koordinasi antar Kementerian untuk memberantas illegal logging justru banyak menyasar para pemegang izin. Di sisi lain, penerapan  UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan belum bisa mengatasi masalah pembalakan liar.

Lembaga independen ini diusulkan untuk langsung berada di bawah presiden. Unsur-unsurnya terdiri dari kejaksaan,  kehutanan dan kejaksaan. Kemenhut juga mengusulkan revisi terhadap UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan khususnya pasal 78. "Kita revisi hak-hak pidananya," kata Hadi.

Pakar hukum Chairul Huda mengatakan pemerintah sebaiknya fokus untuk merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terkait Kehutanan. Peraturan yang ada sekarang memiliki kelemahan karena menekankan pada aspek-aspek kejadian konkrit dan alat bukti. 

"KUHAP yang ada menuntut bukti fisik sehingga penerapannya menjadi sulit," ujar Chairul ketika dihubungi ROL, Rabu (6/2).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement