REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dianggap tidak memiliki taji yang kuat untuk mengatasi masalah narkoba. Malah, kasus penggunaan narkoba beberapa tahun belakangan makin meningkat. Ini menandakan masih maraknya peredaran narkoba di masyarakat karena lemahnya hukum di Indonesia.
"Hukum di Indonesia lunak untuk mereka. Berbeda dengan Malaysia atau Singapura yang langsung menerapkan hukuman mati. Akibatnya sindikat internasional dari Iran, Malaysia, Belanda, dan Hong Kong memandang Indonesia sebagai pasar potensial industri narkoba," kata Wakil Ketua DPP Partai Gerindra, Fadli Zon, di Jakarta, Ahad (3/2).
Menurut Fadli, narkoba seharusnya jangan dilihat secara parsial. Sehingga akhirnya terjebak penanganan eksesnya saja. Namun, harus melihat pangkal masalahnya, yakni penegakan hukum kasus narkoba yang masih lemah.
"Harusnya status mereka pengedar atau bandar, tapi turun menjadi pemakai. Sehingga, jaringan narkoba meningkat karena hukum lemah," cetus dia.
Jadi, ujar Fadli, tak aneh jika pengguna narkoba terus meningkat tiap tahun. Ini lantaran pemerintah agak permisif dan kondusif untuk para pengguna narkoba. Hingga saat ini, lebih dari 5,8 juta jiwa penduduk Indonesia mengonsumsi narkoba.
Kerugian negara atas maraknya kasus narkoba sendiri mencapai Rp 40 triliun per tahun. Sedangkan, perputaran uang Industri narkoba di Indonesia mencapai Rp 23 triliun per tahunnya.
"Narkoba ini juga lebih berbahaya dari terorisme, yaitu per jam secara nasional dua orang mati karena narkoba," ucap Fadli.
Mengaca dari segudang kasus yang ada, menurut Fadli, kebijakan penanganan narkoba harus bersifat preventif. Misalnya, dengan berani memberi hukuman yang lebih tegas dan keras. Badan Narkotika Nasional (BNN) dan seluruh aparat penegak hukum juga harus dipastikan kebersihannya dari intervensi mafia narkoba.