Kamis 24 Jan 2013 22:40 WIB

Inilah Modus Korupsi Pengadaan Sarpras Pendidikan

Rep: Fenny Melisa/ Red: M Irwan Ariefyanto
Murid-murid Sekolah Dasar Negeri (ilustrasi).
Foto: Antara/Dewi Fajriani
Murid-murid Sekolah Dasar Negeri (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-- Forum Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ) menemukan modus pengadaan sarana prasarana (sarpras) pendidikan DKI Jakarta yang diindikasi sebagai tindak korupsi.

Modus tersebut yaitu pengadaan sarpras yang tidak sesuai permintaan sekolah, pengiriman buku pada satuan pendidikan yang kurang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi ruangan perpustakaan sekolah, pengiriman sarpras dalam kondisi rusak, pengadaan sarpras yang tidak sesuai kebutuhan sekolah, adanya sekolah yang mendapat kiriman peralatan yang sama dua tahun berturut-turut, dan pengadaan sarpras laboratorium bahasa dan IPA yang tidak disertai pelatihan bagi guru.

Ketua FMGJ, Heru Purnomo, mengatakan temuan modus tersebut merupakan hasil dari pemantauan FMGJ selama dua tahun. "Pada tahun 2011 dan 2012 FMGJ melakukan pemantauan mengenai pengiriman barang ke sekolah-sekolah. Dari hasil pemantauan, FMGJ menemukan modus-modus pengadaan sarana prasarana pendidikan yang dikelola oleh Dinas Pendidikan DKI Jakarta," kata Heru, Kamis (24/1).

Heru menuturkan sekolah-sekolah yang ingin mendapatkan sarpras juga harus rajin 'silahturahmi' pada sudin pendidikan wilayah kota. Hal itu menyebabkan perolehan sarpras di tiap satuan pendidikan tidak merata.

Heru juga menambahkan berdasarkan kajian periode semester II tahun 2012, PPATK mendapatkan tiga provinsi yang terindikasi transaksi mencurigakan terkait bidang pendidikan. Tiga provinsi tersebut yaitu DKI Jakarta, Sumatera Utara, dan Riau.  "Analisis PPATK menunjukkan DKI Jakarta sebagai provinsi diduga melakukan penyalahgunaan anggaran di bidang pendidikan bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar 37 persen, APBD bidang pendidikan terutama nonBOS/DAK sebesar 19 persen, hibah dan BOS sebesar 16 persen dan 15 persen," kata Heru.

Adapun modus yang dilakukan mayoritas adalah dengan menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri sebesar 27 persen, menggelapkan uang 11 persen, tidak menyelesaikan proyek 10 persen, proyek fiktif 9 persen, dan pengadaan tanpa tender 7 persen.

Melihat hal tersebut, Heru meminta kepada Gubernur DKI Jakarta untuk menindaklanjuti temuan PPATK mengenai transaksi keuangan yang mencurigakan di bidang pendidikan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement