REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Dalam Negeri mengakui sedang menggodok hak diskreasi yang melekat pada pejabat pemerintah seperti gubernur, bupati, dan wali kota. Aturan tersebut nantinya disusun dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.
Ia menegaskan hak diskresi merupakan hak baru dan belum pernah diberlakukan dalam sistem pemerintahan Indonesia. Gamawan menilai, hak tersebut diperlukan dan penting. Meskipun ditegaskannya harus ada penjelasan atau deskripsi yang jelas atas hak itu. Karena, hak ini pun bisa disalahgunakan.
“Jangan sampai orang nanti mengandalkan diskresi sebagai segala-galanya dan untuk berlindung serta melakukan korupsi. Jadi harus ada keseimbangan, harus ada definisi diskresi yang jelas, harus ada batas-batasnya, harus ada syarat-syarat bagaimana diskresi itu dilakukan,” katanya saat ditemui di kompleks istana kepresidenan, Rabu (23/1).
Ia mengatakan pihaknya bisa memberikan 25 contoh terkait perlunya hak diskresi. Salah satu contoh yang diberikannya program transmigrasi. Dalam program tersebut ada daerah pengirim dan daerah penerima. Tetapi, jika dalam perkembanganya daerah pengirim transmigran sudah siap, tetapi daerah penerima belum siap, maka bupati daerah pengirim bisa saja membuat kebijakan yang mendadak terkait itu.
“Ketika itu, misalnya bupati daerah penerima mengatakan lanjutkan proyek hunian padahal mengerjakan proyek yang sudah habis tahun anggarannya kan dilarang, tapi demi menyelamatkan keuangan negara, itu bisa dilakukan,” katanya.
Ia mengakui hak ini bisa sangat rawan bahkan bisa membawa pejabat yang bersangkutan terjerat hukum. Tetapi, di lain pihak seharusnya diberikan penghargaan, karena bisa memaksimalkan program dan menyelamatkan uang negara dengan kebijakannya. “Ini kan bisa saja dapat penghargaan, tapi juga bisa dapat pidana kalau tidak lahirkan diskresi,” katanya.