REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Fenomena artis menjadi calon legislatif (caleg) bisa jadi merupakan cermin kegagalan partai melakukan kaderisasi politik. Partai politik ingin melakukan cara instan meraih suara.
"Motivasi merekrut artis lebih karena pertimbangan meraih suara," ujar Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, Selasa (15/1).
Siti menyatakan, tidak semua artis bisa menjadi faktor penarik suara. Hal ini karena tingkat popularitas bukan satu-satunya faktor penentu bagi masyarakat menetapkan pilihan. "Kalau hanya menggantungkan popularitas tidak akan berarti," ujar Siti.
Dia berharap partai politik serius membina caleg dari kalangan artis. Tidak boleh ada pembedaan perlakuan antara artis dengan kader partai. Semua ini penting agar artis yang duduk di parlemen benar-benar mengerti fungsi dan tanggung jawabnya. "Artis yang duduk di parlemen mesti punya kompetensi," katanya.
Sekjen Partai Persatuan Pembangunan, M Rommahurmuziy, menyatakan saat ini masyarakat sudah semakin cerdas dalam menilai figur keartisan seseorang. Artinya popularitas yang melekat dalam diri seorang artis tidak serta merta bakal membuat masyarakat memilih.
Pria yang akrab disapa Rommy ini, misalnya mencontohkan keterkenalan Dedy Mizwar dengan Dewi Persik. Sebagai sesama artis, keduanya sama-sama dikenal luas publik Indonesia. Namun atas dasar apa mereka dikenal, ini tentu bergantung pada rekam jejak yang dilakukan keduanya. Rommy menyatakan figur artis dalam konteks politik mesti dilihat secara proporsional.
Sekretaris Jendral Partai Gerindra, Ahmad Muzani menyatakan partainya tidak mengistimewakan caleg dari kalangan artis. Menurutnya profesi artis belum tentu memberi jaminan keterpilihan. "Artis menang dari sisi popularitas. Tapi belum tentu unggul elektabilitas," kata Muzani.
Seluruh caleg Gerindra mesti mengikuti mekanisme formal berupa pengisian formulir dan uji kalayakan. Hal ini juga berlaku terhadap caleg yang dianggap memiliki keunggulan seperti artis, aktivis, dan birokrat.