Ahad 06 Jan 2013 21:40 WIB

Meluruskan Stigma Negatif Kampanye Kondom

Seorang aktivis berunjuk rasa menolak sosialisasi kondom di Mandala, Makassar, Sulsel, Senin (25/6). Mereka mengecam kebijakan pemerintah yang menggelar kampanye kondom bagi remaja karena dianggap melegalkan perzinaan.
Foto: Antara
Seorang aktivis berunjuk rasa menolak sosialisasi kondom di Mandala, Makassar, Sulsel, Senin (25/6). Mereka mengecam kebijakan pemerintah yang menggelar kampanye kondom bagi remaja karena dianggap melegalkan perzinaan.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika

 

Berbicara tentang kondom jelas menjadi isu kontroversial di masyarakat kita. Tidak bisa dimungkiri, persoalan kondom memang sangat sensitif. Meski masyarakat Indonesia sangat plural dan terbuka, namun kalau membacarakan masalah satu ini terkesan tertutup. Hal itu sebenarnya wajar mengingat agama Islam menjadi mayoritas dianut masyarakat kita.

Tidak jarang belum sempat menjelaskan duduk persoalan secara detail, pihak yang mensosialisasikan kondom sudah dituduh yang tidak-tidak. Alhasil, ketika ada program edukasi atau sosialisasi kondom yang dilakukan Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi, cap negatif seketika dialamatkan kepada pemerintah. Paling parah, pemerintah seketika bakal dianggap sebagai gerakan mendukung maksiat.

Namun segala stigma negatif itu tidak perlu ditanggapi sinis. Kalau mau objektif hendaknya pemerintah tidak lari dari masalah. Bila perlu, opini harus dibalas opini agar anggapan keliru tentang program pengenalan kondom tidak semakin meresahkan masyarakat.

Mengacu pernyataan Menkes, angka pengidap HIV/AIDS di Indonesia didominasi kalangan muda, usia 20 hingga 29 tahun. Tentu fakta itu sangat memprihatinkan. Pasalnya bisa ditarik kesimpulan bahwa ODHA (orang dengan HIV/AIDS) terkena infeksi sejak lima tahun sebelumnya atau mulai usia 15 tahun alias rentang kelas 3 SMP atau 1 SMA.

Bayangkan, kalau dalam masa usia sekolah sudah banyak pengidap HIV/AIDS dan mereka menyebarkannya melalui seks bebas maka ancaman penyebaran penyakit itu sangat mengkhawatirkan.

Atas dasar itu, Menkes menekankan pentingnya disampaikannya segala informasi tentang pemahaman kepada 65 juta generasi mudia usia 15 hingga 24 tahun. Kementerian Kesehatan, kata dia, terus berupaya membuat anak muda Indonesia memiliki pengetahuan memadai soal kesehatan reproduksi.

Sebab, lebih dari 80 persen penderita HIV/AIDS didapat dari perilaku seksual berisiko tinggi. Dan, hanya 35 persen yang memahami pentingnya kondom dalam berhubungan seks. “Ini makanya angka HIV meningkat,” kata Menkes.

Kampanye kondom?

Baru-baru ini, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) bersama dengan DKT Indonesia untuk keenam kalinya menyelenggarakan Pekan Kondom Nasional (PKN). Tujuan mereka adalah ingin mewujudkan kepedulian dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pencegahan HIV/AIDS. Sebagaimana diketahui, pada 1 Desember dijadikan sebagai Hari AIDS sedunia.

 

Namun muncul anggapan, PKN yang disponsori salah satu perusahaan besar kondom itu bermotif ekonomi. Tidak sedikit asumsi yang mengarah tentang adanya misi terselubung kegiatan itu sebagai upaya penggiringan opini masyarakat ke arah permisivisme seks bebas. Namun telunjuk yang diarahkan kepada panitia itu bisa diperdebatkan.

Pasalnya, sebenarnya kampanye itu menyasar untuk mendidik seluruh lapisan masyarakat tentang pencegahan dan hubungan seks yang aman. Salah satu tugas penting KPAN dan DKT adalah program pencegahan infeksi HIV baru. Kelompok berisiko tinggi, seperti pekerja seks komersial (PSK) dan pelanggannya, kaum gay dan lesbian, serta waria, dan pemakai narkoba jenis jarum suntik perlu memperhatikan secara saksama.

 

Seperti adigum mencegah lebih baik daripada mengobati, maka meningkatkan kampanye pencegahan terkait upaya menghentikan laju epidemi HIV di kalangan masyarakat tentunya merupakan program bagus. Bukan malah dipandang minor dengan tuduhan sebagai ajang memfasilitasi atau legalisasi seks bebas.

Kasus di Papua

Kalau melihat program kampanye PKN, misi dengan mengajak masyarakat untuk mewujudkan kepedulian terhadap HIV/AIDS bisa diapresiasi. Itu mengingat ancaman penyakit mematikan tersebut juga mewabah di Indonesia. Khusus di Papua, penyakit itu sudah sampai pada tahap mengkhawatirkan.

Humas Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Provinsi Papua, Dewi Wulandari melansir data per 30 September 2012, tercatat penderita HIV/AIDS di daerah tersebut mencapai 13.196 kasus. Jumlah penderita HIV/AIDS tertinggi di Kabupaten Mimika sebanyak 2.823 kasus dan disusul Kota Jayapura sebanyak 2.666 kasus. Yang gawat, masih ada 13 kabupaten lainnya yang belum melaporkan atau memperbarui data itu.

Kalau dispesifikasi, kelompok usia 25 sampai 49 tahun menduduki urutan tertinggi dengan jumlah 3.015 kasus HIV dan 4.701 kasus AIDS. Adapun rentang usia 20 hingga 24 tahun, sebanyak 2.996 kasus, terbagi 1.238 kasus HIV dan 1.758 kasus AIDS.

Untuk mencegah semakin tersebarnya HIV/AIDS, KPAN dan DKT bisa mengambil gerak cepat dengan menggandeng Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Ketiganya bisa bekerjasama bersinergi dalam menangani wabah itu. Edukasi dan pengenalan cara pencegahan agar tidak mengidap penyakit itu juga mesti dilakukan.

Kita tahu, masyarakat Papua termasuk golongan berisiko tinggi yang terancam penyakit yang belum ditemukan obatnya itu. Pola hidup masyarakat Papua yang tidak sehat menjadi penyebab utama perkembangan HIV/AIDS. Meski hal itu bisa diperdebatkan, namun kenyataannya memang seperti itu.

Langkah Kemenkes memang cukup komprehensif dengan memilih pendekatan pencegahan. Caranya dengan menggalakkan ajaran moralitas melalui pendidikan agama untuk mencegah perilaku seks bebas. Itu lantaran persoalan HIV/AIDS harus dimulai dari sektor hulu.

Tapi kalau hanya mengurusi kasus yang sudah terjadi maka efek penularan penyakit tidak bisa dihentikan. Ingat, pasangan atau bayi yang dilahirkan dari ibu yang positif HIV/AIDS dipastikan menyebarkan penyakit yang dialaminya.

Setelah upaya pertama itu dilakukan maka pencegahan kedua adalah dengan imbauan penggunaan kondom bagi pelaku seks berisiko. Ingat, bukan menyerukan untuk melakukan seks bebas, melainkan siapa pun yang masuk dalam kelompok risiko tinggi bisa menggunakan kondom sebagai sarana pencegahan virus HIV/AIDS.

Namun yang jadi catatan, berdasarkan catatan Ketua Medical Emergency Rescue Committee (MER-C), Joserizal Jurnalis kondom tidak akan berpengaruh pada pengurangan penyebaran virus HIV/AIDS. Pasalnya, ukuran pori-pori kondom lebih besar daripada ukuran virus HIV. Data menunjukkan, ukuran pori kondom dalam keadaan tidak merenggang sebesar 1/60 mikron. Sedangkan ukuran virus HIV/AIDS hanya sebesar 1/240 mikron.

Sehingga ukuran pori-pori kondom empat kali lebih besar daripada virus HIV. Jika semua fakta tersebut benar, maka tinggal pertanyaan itu yang perlu dijawab pemerintah. Tujuannya agar kontroversi kampanye kondon tidak terus merebak di masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement