Jumat 04 Jan 2013 20:56 WIB

Enam Bentuk 'Penyanderaan' Anggaran oleh Elite Politik

Rep: Hannan Putra/ Red: Djibril Muhammad
Sekjen Seknas FITRA, Yuna Farhan
Foto: seknasfitra.org
Sekjen Seknas FITRA, Yuna Farhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Alokasi anggaran selama 2012 dinilai tidak memprioritaskan pembangunan nasional. Demikian salah satu kesimpulan yang dihasilkan Sekretariat Nasional untuk Transportasi Anggaran (Seknas FITRA).

Karena itu, tidak heran, Sekjen FITRA, Yuna Farhan menilai pemerintah tidak konsisten dalam menyusun perencanaan dan penganggaran. Sehingga, menurut dia, indikator/ output prioritas pembangunan tidak menjadi ukuran untuk menentukan alokasi anggaran. Ia melihat, ada perbedaan pada penetapan alokasi anggaran untuk mencapai indikator/ output prioritas pembangunan.

"RKP 2012 menetapkan 1.715 indikator dengan pagu anggaran sebesar Rp 232,27 Triliun. Sedangkan dalam RKA-KL ditetapkan sebanyak 3.991 output dengan alokasi anggaran sebesar Rp 269,01 Triliun. Padahal, berdasarkan pasal 12 UU 17/2003 bahwa penyusunan Rancangan APBN berpedoman kepada Rencana Kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara," bebernya dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Jumat (4/1). 

Akibatnya, anggaran gagal menerjemahkan prioritas pembangunan nasional. Penyusunan anggaran lebih didominasi pendekatan politik yang menguntungkan kelompok tertentu saja, bukan untuk seluruh rakyat Indonesia.

"Bagaimana DPR menyandera KPK dengan memberikan tanda bintang. Ini otomatis memperlambat penyerapan anggaran di gedung KPK. Tanda bintang ini juga menjadi ruang bagi mafia anggaran," ungkapnya seraya menganalogikan dengan 'pisah ranjang'. 

Selain itu, yang kedua, lanjut dia, penghasialan Kepala Daerah yang gila-gilaan. Para elite politik yang menduduki jabatan sebagai kepala dan wakil kepala daerah tidak pernah mengalami kekurangan. 

Pasalnya, semua kebutuhan hidup sehari-harinya sudah ditanggung APBD. Hasil simulasi Seknas FITRA terhadap penghasilan kepala dan wakil kepala daerah, papar dia, menunjukan penghasilan kepala daerah bisa mencapai ratusan miliar rupiah.

Penghasilan kepala daerah tertinggi menurut jenis daerahnya adalah gubernur Jawa Timur (Jatim) yang menempati peringkat tertinggi. Dalam setahun Gubernur Jatim dapat memperoleh Rp 7,7 Miliar.

"Wali Kota Surabaya Rp 2,3 Miliar dalam setahun, sementara Bupati Badung memperoleh Rp 1,5 Miliar dalam setahun. 

Penghasilan tersebut belum ditambah lagi dengan biaya-biaya lainnya seperti perlengkapan rumah dinas, biaya kesehatan, biaya perawatan rumah dan kendaraan. Yang kesemuanya bersumber dari APBD," jelas Yuna.

Akibatnya, terjadi kesenjangan sosial yang lebar. Penghasilan kepala daerah bisa mencapai 300 kali lipat dari pendapatan perkapita penduduk di daerahnya.

Ketiga, menurut dia, Pemerintah dinilai gagal dalam penanggulangan Kemiskinan, tapi sukses dalam penarikan utang. Kebijakan politik anggaran Indonesia lebih pro penarikan utang dari pada penanggulangan kemiskinan rakyat Indonesia.

Pemerintahan SBY sudah mengeluarkan anggaran penanggulangan kemiskinan sebesar Rp 402,4 triliun dalam rentang 2006-2012 (berdasarkan harga konstan). Namun pemerintahan SBY gagal mengurangi angka kemiskinan, terhitung rata-rata hanya berkurang 0,9 persen dalam kurun waktu enam tahun.

Dalam periode 2007- 2012 alokasi anggaran untuk penanggulangan kemiskinan rata-rata baru mencapai nilai Rp 62,9 triliun sedangkan posisi utang LN (Luar Negeri) terlihat fantastis hingga mencapai rata-rata Rp 630 triliun.

Keempat, ia menambahkan, anggaran rawan penggunaan belanja bantuan sosial. Belanja sosial yang dikelola kementerian merupakan pengeluaran dalam bentuk uang atau barang yang bertujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat. Bantuan sosial ini dapat langsung diberikan kepada individu, kelompok, atau komunitas yang secara ekonomi lemah/kurang mampu.

"Jika mengkaji lebih dalam, terdapat 6 (enam) partai yang tergabung di Sekretariat Gabungan bentukan Pemerintahan untuk mengelola bantuan sosial, dan tersebar di sepuluh kementerian. Bantuan sosial yang dikelola oleh enam partai tersebut sebesar Rp 22 triliun tahun 2012," beber Yuna.

Kementerian Pertanian mengelola Bansos terbesar dengan nilai Rp 10,8 Triliun. Disusul Kementerian Agama Rp 5,6 Triliun dan Kementerian Sosial Rp 2,3 Triliun.

Kelima, lanjut dia, mahalnya pembahasan UU di 'Bursa Saham' DPR. Lembaga perwakilan rakyat ini, yang berisikan para politisi partai juga nampaknya tidak mau ketinggalan 'menyandera' anggaran rakyat. Anggaran dialokasikan besar-besaran untuk menunjang fungsinya, khususnya dalam legislasi, pengawasan, dan penganggaran.

Selama 2012, ungkap dia, DPR mendapakan jatah alokasi anggaran sebesar Rp 842 miliar untuk penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) dan pengawasan kebijakan pemerintah, serta Rp 466 miliar untuk pembahasan RUU.

Rata-rata ongkos untuk satu RUU sebesar Rp 9 Miliar. Sayangnya anggaran sebesar itu tidak digunakan optimal. Dari 60 RUU yang ditargetkan rampung pada 2012, DPR hanya mampu menyelesaikan 30 RUU menjadi UU.

Akibatnya, anggaran menjadi sia-sia dan tidak efektif. Alokasi anggaran untuk peningkatan kesejahteraan rakyat tergerus untuk pembahasan RUU yang manfaatnya kurang dirasakan publik.

Terakhir, jelas dia, anggaran presiden yang Boros. Pemborosan itu, menurut dia melanggar UU 17/2003 yang berdasarkan hasil audit BPK Semester I tahun 2012. Dalam hal itu ditemukan adanya kesalahan penggunaan anggaran dalam BA. 999.08 yang sejatinya diperuntukan untuk kegiatan yang bersifat urgent dan insidentil serta belum danggarkan di BA. 007.

Tetapi justeru terjadi penyelahgunaan. BA 999.08 juga digunakan untuk kegiatan presiden bersifat rutin seperti operasional perjalanan VVIP presiden bersama rombongan ke luar negeri, rapat kerja pemerintah, bantuan kemasyarakatan bersifat sosial, organisasi, keagamaan, pendidikan. Skema penganggaran ini, menurut BPK, bertengtangan dengan UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Akibat persoalan-persoalan ini, anggaran 2012 gagal memberikan perbaikan dalam peningkatan kesejahteraan rakyat. 

"Anggaran 2012 lebih banyak dinikmati birokrat dan para elit politik di Indonesia. Bukan para petani, nelayan, buruh, dan masyarakat miskin," tandas Yuna. [mad]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement