REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aturan pembatasan transaksi tunai Rp100 juta akan membantu menurunkan tingkat korupsi di Indonesia. Demikian disampaikanKetua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Muhammad Yusuf .
"Dengan adanya pembatasan ini, kami yakin tingkat korupsi di Indonesia akan turun hingga 70 persen," katanya saat konferensi pers di Gedung PPATK Jakarta, Rabu (2/1).
Sampai dengan akhir tahun 2012, PPATK telah menerima Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) sebanyak 12,2 juta laporan yang mayoritas diterima dari Penyedia Jasa Keuangan (PJK) yaitu bank, sebesar 99,8 persen. Sedangkan, untuk Laporan Pembawaan Uang Tunai (LPUT) hingga November 2012 telah mencapai 8.817 laporan yang telah dilaporkan oleh Ditjen Bea dan Cukai.
Yusuf mengatakan aturan pembatasan transaksi tunai maksimal Rp100 juta sudah diusulkan kepada Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia.
"Secara lisan Menkeu dan Gubernur BI mengatakan setuju dan mendukung. Tapi pilihan aturannya adalah menggunakan Peraturan Pemerintah atau Undang-undang, yang memang membutuhkan waktu lama untuk menyusunnya. Jadi yang paling mudah adalah peraturan Gubernur BI," tambah Yusuf.
Menurut dia, negara-negara lain seperti Prancis dan Brazil mampu menerapkan aturan tersebut untuk menekan tingkat korupsi. "Jadi aturan tersebut tidak menutup kemungkinan bisa diberlakukan di Indonesia," jelas Yusuf.
Ia menambahkan ada sejumlah manfaat lain yang diperoleh pemerintah jika menerapkan aturan pembatasan transaksi tunai seperti penghematan dalam jumlah uang yang dicetak, bahan baku uang, biaya penyimpanan uang di BI, mengurangi peredaran uang palsu, serta mendidik masyarakat untuk menggunakan jasa perbankan.
"Dari pihak bank juga menjadi lebih bergairah karena mendapatkan jasa. Namun yang lebih penting adalah mendidik masyarakat agar transparan dan juga belajar tentang perbankan," ujarnya.