Rabu 02 Jan 2013 12:16 WIB

Warga Emoh Nikah di KUA, Kenapa?

Rep: Edy Setiyoko/ Red: Citra Listya Rini
Pernikahan yang dilakukan secara Islam.
Foto: onislam.net
Pernikahan yang dilakukan secara Islam.

REPUBLIKA.CO.ID, KLATEN -- Surat Keputusan (SK) Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Jawa Tengah ihwal keharusan pelaksanaan nikah berlangsung di Kantor Urusan Agama (KAU), ibarat 'macan ompong'. SK itu tidak digubris sama sekali oleh warga yang hendak menikahkan anggota keluarganya.

Kultur masyarakat Jawa Tengah, khususnya, sebagian besar masih memegang teguh pelaksanaan acara ijab kabul didasarkan 'petung neptu', atau hitungan hari baik. Dan, kebanyakan masyarakat mengakui upacara sakral lebih baik berlangsung di rumah sendiri atau di masjid tempat tinggal orangtua mempelai.

SK Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Tengah masih sulit dilaksanakan. "Nikah di KUA masih dianggap kurang lazim. Praktiknya, hampir semua pernikahan berlangsung di rumah mempelai," kata Kepala KUA Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Ansori kepada Republika, Rabu (2/1).

KUA Kecamatan Bayat membawahi wilayah 18 desa. Sejak dulu, ujar Ansori, hampir sebagian besar pelaksnaan ijab kobul berlangsung di rumah mempelai. Malah, bisa dianggap miskin atau tak mampu membayar biaya nikah oleh sebagian orang, kalau ijab kobul di KUA.

Sekilas, pelaksanaan ijab kobul di KUA dibilang praktis dari sisi biaya. Karena, yang datang ke sana hanya kedua mempelai, wali, dan saksi. Namun, dalam kenyataan, kultur masyarakat yang masih kental hidup rukun, gotong-royong, dan kuat kekerabatan, pasti banyak orang yang ingin menyaksikan upacara sakral itu.

Faktanya, pelaksanaan ijab kobul kebanyakan berlangsung di rumah. Otomatis pihak orangtua mempelai mengundang petugas PPN datang. Ini mengandung konsekuensi. Salah satu diantaranya, harus menyediakan uang transportasi.

Menurut Ansori, nilai urang transport relatif karena rgantung jarak antara KUA dengan rumah mempelai. Juga pertimbangan jam dinas, atau di luar jam dinas. Sedikit mahal lagi, kalau berlangsung hari libur, Sabtu dan Ahad. Kebanyakan orang punya hajad pada hari itu.

Menurut Ansori, tak ada tarif resmi berkait dengan uang transportasi. Sepertinya, masyarakat sudah tahu. Mungkin, informasi 'getok-tular' atau dari mulut lewat mulut. Atau mungkin informasi dari P3N (Pembantu Petugas Pencatat Nikah) di kantor desa atau kelurahan.

Kadang, kata Ansori, ada yang memberi Rp 20 ribu, Rp 25 ribu, dan Rp 50 ribu. Nilainya tergantung kemampuan ekonomi orangtua mempelai. Yang pasti, soal biaya nikah, KUA menetaptkan biaya resmi sebesar Rp 30 ribu setiap pernikahan.

"Kalau ada pungutan lebih dari itu saya tidak tahu," lugas Ansori. Namun, jika dipungut biaya nikah Rp 200 ribu, Rp 300 ribu, atau Rp 400 ribu, warga menilai wajar untuk ukuran kemampuan ekonomi masyarakat Kabupaten Klaten.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement