REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terompet selalu menjadi ciri khas tahun baru. Sudah menjadi pemandangan umum menjelang tahun baru. Para pedagang terompet bertebaran di sekeliling ibukota.
Namun jangan salah, tahun ini kemungkinan kita hanya bisa melihat terompet menghias mal. Terompet berbahan karton ternyata tersungkur dihadapan terompet asal Cina. Penjualan yang kalah jauh ini diakui oleh Jajang (36 tahun).
Sore itu Jajang terlihat duduk merenung di pinggir tangga pasar Perumnas Klender, Jakarta Timur. Langit terlihat gelap, sehingga bapak beranak tiga ini berusaha menutupi terompet yang masih begitu banyak itu dengan plastik.
Ketika Republika melewatinya, ia pun melempar senyum. ''Mas terompet buat tahun baru,'' tutur dia kepada Republika. Sejenak Republika pun menyapa dan menanyakan soal harga, warna dan pembuatannya. Setelah ditanya macam-macam, ia pun langsung berubah sedikit masam.
Meski begitu Jajang yang tiap harinya menjadi tukang parkir masih mencoba tersenyum sambil menanyakan soal niat membeli. Republika pun memperkenalkan diri sebagai wartawan, dan ia pun menyambut dengan wajah penuh harapan.
Ia mengatakan, tahun ini adalah tahunnya terompet impor. Sebagai pedagang sebenarnya, Jajang tak merasa iri dengan teman penjual terompet impor. Cuma, ia mengakui terompet impor sedikit banyak memukul penjualannya.
Penjual terompet lainnya, Ardi (18 ) menawarkan tiga jenis terompet yaitu terompet mekanis lokal, impor dan jenis gas yang juga impor Cina. Ardi mengatakan dibandingkan dengan dua produk asal Cina, terompet dorong buatan lokal cenderung bersuara cempreng.
Produk lokal dibedakan dengan gambar ''Angry Bird'' di sekelilingnya. Makanya terompet yang terinspirasi dari Vuvuzela asal Afrika Selatan ini dijual lebih murah Rp 5 ribu. Jika yang impor Rp 25 ribu maka yang lokal hanya seharga Rp 20 ribu.