REPUBLIKA.CO.ID, NUNUKAN -- Mau lepas lagi salah satu wilayah NKRI ke negara tetangga? Tentunya tidak. Karena itu, Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) berpandangan pemerintah Indonesia perlu belajar dan mengambil hikmah dari terlepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia.
Asisten Deputi Pengelolaan Potensi Kawasan Perbatasan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP), Ir Sunarto MM dalam siaran pers di Kaltim di Nunukan, Rabu (19/12), mengingatkan, kekalahan Indonesia oleh Malaysia di Mahkamah Internasional terhadap kedua pulau ini.
"Kita harus belajar dari kekalahan Indonesia terhadap penguasaan Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia yang bermula dari penguasaan perekonomian masyarakat di pulau itu," ujar Sunarto dalam siaran pers tersebut.
Hal itu, kata dia, menyebabkan produk-produk luar negeri dari negara tetangga terus masuk dan mendominasi perekonomian masyarakat kawasan perbatasan.
Sunarto menegaskan, secara 'the jure', Pulau Sebatik yang memiliki luas wilayah sekitar 50 ribu hektar yang terbagi dua wilayah. Kedua wilayah itu, yakni bagian utara milik Malaysia dan sebelah selatan milik Indonesia, tetapi secara ekonomi masih dalam penguasaan Malaysia.
Kondisi ini berlangsung setiap hari, di mana masyarakat Pulau Sebatik dan Pulau Nunukan setiap hari berbelanja kebutuhan sehari-hari di Tawau Malaysia seperti gas elpiji, ikan, daging dan lain-lainnya. Dia mengatakan, hal serupa juga terjadi pada hasil-hasil perkebunan, pertanian, perikanan (raw material) dan tanaman pangan lainnya semuanya di pasarkan di Tawau Malaysia.
Namun ia mengakui pascalepasnya Pulau Sipadan dan Libitan ke tangan Malaysia tahun 2002, perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap pulau-pulau kecil terluar (PPKT) dan pulau-pulau kecil perbatasan terus meningkat. Bentuk keseriusan pemerintah dalam menangani wilayah perbatasan salah satunya adalah pembentukan UU Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara dan pembentukan BNPP pada 17 September 2010 yang diberikan kewenangan khusus untuk mengelola perbatasan.
Hanya saja, Sunarto mengatakan tidak dibarengi dengan dukungan anggaran yang memadai untuk pengelolaan sumber daya wilayah perbatasan pada empat sudut pandang yakni aspek ekonomi, politik, hukum, dan bencana alam.