REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Revitalisasi bahasa mutlak diperlukan sebagai bagian pemenuhan hak asasi anak untuk belajar bahasa ibunya.
Demikian ditegaskan Ahli dialektologi dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), Multamia Lauder.
"Jangan menunggu sampai terlambat. Kita harus bergerak sekarang," kata perempuan yang merupakan guru besar ini, Kamis (13/12).
Contoh kasus di Pulau Buru, Maluku, bahasa Kayeli hanya tinggal dikuasai empat orang berusia di atas 60 tahun. Keempatnya terakhir kali menggunakan bahasa itu 30 tahun lalu.
Masih di tempat yang sama, nasib bahasa Hukumima lebih menyedihkan lagi. Penuturnya hanya seorang nenek dengan gigi ompong berusia 80 tahun. Dan ia tidak lagi menggunakan bahasa itu sejak Perang Dunia II. Ia pun sudah lupa dengan bahasa itu.
Dalam penelitian yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sejauh ini para peneliti yang dibantu peneliti dari Universitas Indonesia dan Atmajaya berhasil mengumpulkan sekitar 1.000 kosa kata.
Tidak banyak memang. Apalagi jumlah penuturnya juga di bawah seribu. Hal itu disebabkan tidak ada catatan mengenai bahasa minoritas tersebut. Bahasa daerah biasanya dituturkan dan tidak dituangkan dalam tulisan.
Dokumentasi bahasa ini perlu disimpan dalam format video dan audio. Mereka yang ingin mempelajari bahasa juga menjadi tahu bagaimana intonasi yang benar. Sayangnya, metode ini meski sangat penting membutuhkan biaya yang banyak.
Keahlian juga diperlukan untuk menjaga rekaman agar tidak rusak. Perlu juga diperhitungkan adanya standar agar rekaman dapat terus terbaca dengan sistem yang dipakai. Kosa kata yang dibukukan para peneiiti memang belum lengkap.
Namun ,mereka optimis pengembangan ejaan bahasa minoritas dapat membantu penduduk setempat menulis sejarah mereka, menu masakan, adat, cerita rakyat dan lainnya dalam bahasa etnis.
Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI, Endang Turmudi, berharap generasi muda tidak malu menggunakan bahasa daerah yang merupakan identitas mereka.
“Sebetulnya, sudah ada kesadaran dari pemerintah untuk melestarikan bahasa daerah. Salah satu caranya adalah mengintegrasikannya ke pelajaran sekolah melalui muatan lokal di daerah masing-masing,” kata Endang.
Cara ini bukannya tanpa masalah. Mencari guru yang paham benar dengan bahasa etnis minoritas sangat sulit.