REPUBLIKA.CO.ID, TERNATE -- Para aktivis antikorupsi di Maluku Utara (Malut) meminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengambil alih kasus korupsi di Malut. Soalnya, institusi hukum di daerah itu dinilai kurang serius menangani secara tuntas.
"Banyak kasus korupsi di Malut yang mengakibatkan kerugian negara miliaran rupiah, terkesan didiamkan institusi penegak hukum di daerah ini, untuk itu KPK perlu mengambil alih penanganannya," kata seorang aktivis antikorupsi di Malut, Hasbi Yusup di Ternate, Senin (10/12).
Kasus korupsi di Malut yang perlu diambil alih penanganannya oleh KPK, di antaranya kasus korupsi pembangunan Masjid Raya Sula di Kabupaten Kepulauan Sula senilai Rp 25 miliar dan kasus korupsi pembelian kapal cepat Halsel Ekspres senilai Rp14 miliar di Kabupaten Halmahera Selatan.
Selain itu, kata Hasbi, kasus pembebasan lahan untuk kompleks perkantoran Pemprov Malut di daerah Sofifi senilai Rp 20 miliar dan kasus penyimpangan bantuan sosial di Pemprov Malut tahun 2008 bernilai puluhan miliar rupiah.
Kalau KPK tidak mengambil alih penangganan kasus korupsi tersebut, dikhwatirkan tidak akan pernah diproses secara hukum oleh institusi hukum di Malut. Kalau pun diproses, kata dia, hanya menyentuh pihak-pihak yang hanya sebagai pelaksana di lapangan.
Menurut Hasbi yang juga dosen Universitas Khairun Ternate itu, indikasi tersebut di antaranya dalam penangganan kasus dugaan korupsi pembangunan Masjid Raya Sula di Kabupaten Kepsul, dimana yang diproses oleh Polda Malut hanyalah oknum staf di Pemkab Kepsul.
Sedangkan, oknum pejabat yang diduga sebagai insiator dari penyimpangan dana pembangunan Masjid Raya Sula tersebut, termasuk oknumnya yang menikmati dana sampai saat ini tidak pernah disentuh oleh penyidik Polda Malut.
Contoh lainnya, dapat dilihat dalam penangganan kasus dugaan korupsi Dana Tidak Terduga (DTT) tahun 2004 di Pemprov Malut, yang diproses oleh institusi hukum di Malut hanyalah staf pelaksana di lapangan. Sedangkan pejabat yang sebenarnya paling bertanggung jawab didiamkan saja.