REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN--Kini kian anyak pasangan kepala daerah yang kurang harmonis, sehingga tidak sedikit yang akhirnya berujung pada "pecah kongsi". Penilaian 'tren' tak harmonis para pemimpin disampaikan pengamat sosial dan politik Universitas Airlangga Prof Hotman Siahaan.
"Ada kepala daerah dengan wakilnya yang talak satu, talak dua, bahkan ada yang talak tiga," katanya di Medan, Kamis (6/12), pada seminar nasional dengan tema "Ilmuan Sosial Bicara Pilkada" di Universitas Negeri Medan (Unimed) .
Menurut dia, terjadinya ketidakharmonisan tersebut, bisa berawal dari ketika mereka diduetkan maju dalam pilkada lebih dikarenakan transaksional. Dalam arti majunya mereka mencalonkan sebagai kepala daerah dan wakilnya, bukan karena persamaan pandangan.
"Demokrasi kita sudah dibajak kapitalisme. Siapapun bisa jadi kepala daerah karena kekuatan uang. Dana untuk maju sebagai kepala daerah itu tidak sedikit dan hanya yang berduitlah yang bisa seperti itu," katanya.
Sementara Guru besar Universitas Negeri Medan (Unimed) Prof Usman Pelly mengatakan persoalan etnisitas selalu tidak bisa terlepas dari pilkada. Karena etnis menjadi pasar yang menarik untuk dijual demi menarik dukungan.
"Ini dapat kita lihat, setiap calon yang maju dalam pilkada akan selalu dikaitkan dengan etnisitas. Misalnya calon Batak, Jawa, Melayu, Mandailing dan lainnya," ujarnya. Ia menyayangkan fenomena ini tidak dapat dihindari, karena setiap calon selalu berupaya menarik simpatik dari masyarakat.