Jumat 30 Nov 2012 21:02 WIB

Tukar Guling Lahan Puring Kencana (II-Tamat)

Warga di Perbatasan Kalimantan-Serawak
Warga di Perbatasan Kalimantan-Serawak

REPUBLIKA.CO.ID,oleh: Muhammad Fakhruddin (wartawan Republika)

Rebutan lahan antara saudara namun beda negara ini mulai mencuat ketika Kecamatan Puring Kencana masih berstatus perwakilan. Ada beberapa penduduk, baik Indonesia maupun Malaysia yang berladang pada tanah yang sedang dipersengketakan. Warga dari pihak Indonesia antara lain, Timai, Itar, Unsun, Jele, Merudi, Uih, Tunggan, Sila, dan Udin. Nama-nama tersebut berladang di wilayah Serawak, Malaysia sejak 1994. Karena sengketa tanah tersebut makin meruncing dan diketahui oleh pemerintah kedua negara maka segera diadakan perundingan antara pihak pemerintah daerah kedua negara.

Pemerintah daerah kedua negara memanggil para warga masyarakat yang membuat ladang di kawasan tanah yang sedang dipersengketakan. Sehingga pada 1995, sembilan kepala keluarga warga Langau, Indonesia, tidak lagi membuat ladang ke dalam wilayah Serawak, Malaysia.

Tapi di pihak masyarakat Titikah, Serawak, Malaysia, telah membuka kebun dan ladang di dalam wilayah negera RI, dengan areal yang cukup luas, diperkirakan kurang lebih 250 Hektar. Letaknya terpencar-pencar antara satu dengan lainnya, kurang lebih 8 Kilometer. Areal tersebut dibuat ladang dan ditanami tanaman buah-buahan seperti Durian, Cempedak, Tengkawang serta ditanam Lada dan Karet.

Penduduk Titikah, Serawak, Malaysia yang membuat ladang dan kebun di wilayah Indonesia. Yakni Uding, Uren, Iloi, Ripong. Permasalahn tersebut diatas telah ditinjaklanjuti pada pertemuan SET-SOSEK Tingkat Daerah Negeri Serawak di Bandar Sriaman pada tanggal 6 Januari 1996.Namun setelah diadakan pertemuan SET-SOSEK Malindo masih juga terjadi permasalahan yang sama.

Pada tahun 1997, beberapa masyarakat Langau, Puring Kencana dan masyarakat Titikah, Serawak, Malaysia kembali berladang di kawasan tanah sengketa yakni, Sial, Ramping, Akil, Binggung, L i, Tamat, Tuan.Para penggarap asal Indonesia itu lalu diusir oleh warga Titikah, Malaysia, Dinel cs, yang membakar dan merusak ladang-ladang yang sedang mereka kerjakan hingga mereka tidak jadi berladang di tempat itu. Namun, seorang warga Titikah, Malaysia, Uding, tetap dibiarkan berladang di kawasan yang dipersengketakan.

Atas dasar kejadian tersebut, camat Puring Kencana lalu berusaha mengawasinya, dengan mengadakan pertemuan dengan masyarakat dan melaporkan kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Untuk kesekiankalinya warga kedua negara tetap saja berladang di kawasan yang sedang dipersengketakan. Sehingga terjadi lagi pengusiran terhadap masyarakat Laungau, Puring Kencana oleh mantan Tuai Rumah Titikan, Malaysia, Ensudin, sehingga masyarakat Langau tidak jadi membuka ladang di kawasan tersebut, sedang warga Titikan,Serawak, Malaysia tetap meneruskan kegiatan berladang di tanah sengketa.

Para penduduk Langau yang berladang di kawasan tanah yang sedang dipersengketakan lalu meminta izin terlebih dahulu kepada masyarakat Titikah, Serawak, Malaysia Timur, dengan cara kekeluargaan. Sehingga pada tahun 1999, penduduk Langau yang berladang di kawasan tanah sengketa semakin banyak mencapai 38 orang. Sementara warga Titikah, Malaysia hanya Uding. Tetap saja perselisihan terus belarut-larut dan makin meruncing, sehingga digagaslah perundingan di Seriaman, Malaysia.Ketua Adat Puring Kencana, Rupus Buji, mengegaskan, tanah yang dulu dikuasai warga Malaysia kini sudah menjadi hak Indonesia. “Kami ikut menandatangani dan menyaksikan itu menjadi hak Indonesia,” kata Rupus.

Kendati lahan tersebut telah menjadi hak Indonesia, kata Rupus, warga Malaysia masih mengakui lahan tersebut adalah milik mereka. “Masalah itu sudah diselesaikan dan tidak bisa diganggu gugat. Akhirnya kami sudah tenang sekarang,” kata Rupus.Setelah diperoleh kesepakatan, Warga Puring Kencana kembali berkebun lada dan karet di lahan Malaysia yang kini jadi milik Indonesia.

Sekarang yang menjadi masalah, masyarakat mulai berebut untuk menguasai lahan ini. Masyarakat saling mengklaim mempunyai hak atas lahan itu atau memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik sebelumnya yang berkewarganegaraan Malaysia. Udin warga Dusun Sungai Nasa, Desa Sungai Antu, Kecamatan Puring Kencana yang juga ikut dalam perundingan antara Bupati Kapuas Hulu, Abang Tambul Husein dengan Residen Sri Aman, Patrik Ing Kasan, mengatakan, saat perundingan pihak Malaysia menawarkan lahan yang digarap peladang Malaysia bisa dikembalikan asalkan peladang Indonesia harus ganti rugi. Namun karena peladang Indonesia tidak sanggup memberikan ganti rugi, maka lebih baik lahan tersebut dikembalikan ke Pemerintah Indonesia.

Sebagai gantinya maka dilakukan tukar guling lahan dengan lahan seluas kurang lebih 230 milik Indonesia dari patok I.83 sampai patok I.117 menjadi milik Malaysia. Menurut Udin, lahan yang diserahkan kepada Pemerintah Indonesia nantinya harus dikembalikan lagi ke masyarakat. “Karena lahan di sekitar garis lurus tersebut merupakan milik pribadi masyarakat dan bukan milik Pemerintah Indonesia,” kata Udin yang juga penggarap di lahan sengketa itu.

Sedangkan menurut Camat Puring Kencana, Hermanus Jemayung, lahan yang diserahkan Malaysia itu merupakan aset Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu. Karena dalam dukumen surat Bupati Kapuas hulu, Abang Tambul Husin, yang ditujukan kepada Camat Puring Kencana pada masa itu, Ambrosius Ayub, tertanggal 16 Juli 2004 ditegaskan bahwa pernyataan bersama Residen Sri Aman dan Bupati Kapuas Hulu berisikan penyerahan tanah atau kawasan pertanian lintas batas dari warga Malaysia kepada Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu. Dengan penyerahan tersebut maka tanah dan tanam tumbuh di kawasan tersebut merupakan asset yang langsung dikuasai oleh Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu.

Camat menjelaskan, bagi warga masyarakat yang ingin memanfaatkan karet yang tumbuh di kawasan tersebut, harus mengajukan permohonan kepada Bupati Kapuas Hulu melalui camat Puring Kencana. Pembagian hasil pemanfaatan tanam tumbuh diatas pada prinsipnya mengikuti kebiasaan masyarakat setempat dengan catatan bahwa maksimal 30 persen dari seluruh hasil tersebut menjadi bagian Pemerintah Desa Sungai Antu, dan dicatat sebagai salah satu sumber pemasukan keuangan desa dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.Sedangkan tanam tumbuh non karet berupa buah-buahan dapat dinikmati oleh siapa pun warga negara Indonesia sepanjang mendapat ijin dari Pemerintah Kecamatan Puring Kencana.

Dengan catatan tanaman tumbuh berupa buah-buahan tersebut tidak boleh dimiliki secara pribadi oleh siapa pun. Bagi warga masyarakat yang ingin berladang di kawasan tersebut harus mengajukan permohonan kepada Bupati Kapuas Hulu melalui Camat Puring Kencana. Ijin berladang dapat dikabulkan jika kawasan yang akan diladang tidak terdapat karet produktif yang telah diserahkan oleh warga Malaysia.

Pemanfaatan tanah tersebut untuk kegiatan berladang dilakukan dengan perjanjian kerjasama antara Camat Puring Kencana yang bertindak atas nama Bupati Kapuas Hulu dengan warga dan perjanjian tersebut paling lama selama 1 tahun, dan paling luas 2 hektar tiap warga.Hermanus menambahkan, untuk mencegah adanya klaim kepemilikan pribadi terhadap tanah tersebut, warga juga dilarang menebang karet produktif yang telah diserahkan oleh warga Malaysia berdasarkan kesepakatan Johar Baharu 27 September 2002, dilarang menanam tanaman keras tahunan untuk kepentingan pribadi, dilarang memperjualbelikan bekas ladangnya kepada pihak lain, dan dilarang mengajukan sesuatu hak atas tanah dengan maksud menguasai atau memiliki tanah di atas kawasan yang telah diijinkan untuk diladang.Menurut Hermanus, rebutan lahan ini harus diantisipasi sejak awal, sebab perkara tanah juga yang menyebabkan penduduk Puring Kencana dengan penduduk Sarawak dahulu mau saling membunuh. “Camat memang diberikan kewenangan untuk mengatur, namun prakteknya di lapangan sangat sulit karena kewenangannya sangat terbatas,” kata Hermanus.

Selain itu, camat bukan lagi kepala daerah, tapi hanya kepala SKPD yang mengepalai kantor kecamatan sekaligus melakukan tugas umum pemerintah.

Wakil Bupati Kapuas Hulu, Agus Mulyana, mengatakan kesepakatan antara Bupati Kapuas Hulu terdahulu, Abang Tambul Husein dengan Residen Sri Aman, Patrik Ing Kasan masih berlaku hingga saat ini. “Memang dulu disepakati bahwa wilayah itu, dulunya wilayah kita. Setelah sempat ditanami karet, sekarang kembali ke kita,” kata Agus.

Menurut Agus, pihak Malaysia hingga saat ini juga tidak mempermasalahkan lagi penyerahan lahan tersebut. Begitu juga sebaliknya, Pemerintah Kapuas Hulu tidak lagi mempermasalahkan lahan yang diserahkan ke Malaysia. Sehingga Pemerintah Kapuas Hulu tidak lagi memperhatikan lahan seluas kurang lebih 230 milik Indonesia dari patok I.83 sampai patok I.117 yang diserahkan ke Malaysia. “Yang saya tahu punya kita aja,” kata Agus.Padahal kesepakatan baru dilakukan perundingan setingkat daerah dan belum masuk pembahasan antara pemerintah pusat kedua negara.

Bahkan permasalah perbatasan di Kecamatan Puring Kencana ini belum masuk dalam permasalahan yang belum disepakati antara kedua negara atau lokasi outstanding boundary problems. Sehingga belum masuk dalam perundingan tingkat pusat antara kedua negara. Amat disayangkan jika ternyata di lahan yang diserahkan ke Malaysia itu ternyata menyimpan kekayaan alam seperti emas dan batu bara. Meskipun hingga kini lahan tersebut masih hutan dan belum pernah diketahui potensi kekayaan alam yang ada di dalamnya.

Padahal, di daerah Langau, sekitar 8 Kilometer dari hutan tersebut, ditemukan potensi emas dan batu bara. Danki Lintas Batas Nanga Badau, Kapten Inf Galih B A P, mengatakan hingga saat ini tidak ada perubahan garis batas antara RI-Malaysia. “Kita tetap menggunakan patok letter S itu, yang garis lurus imajiner itu tidak kita gunakan,” kata Galih.

Menurut Galih, pihaknya tetap menjalankan patroli perbatasan sesuai dengan peta topografi yang dikeluarkan TNI, meskipun ada kesepakatan antara bupati Kapuas Hulu dan residen Sriaman. “Kita tetap mencegah warga Malaysia yang berusaha menebang di wilayah Indonesia,” kata Galih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement