REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latif Adam menegaskan penentuan upah buruh harus didasarkan pada peningkatan produktivitas tenaga kerja, bukan atas dasar inflasi semata.
"Selama ini banyak pertimbangan inflasi tetapi produktivitas belum. Secara teori ekonomi, upah merupakan titik perpotongan antara 'marginal producti of labour' dengan 'marginal cost of labour' sehingga itu harus seimbang", kata Latif Adam kepada ANTARA di Jakarta, Kamis (29/11).
Dia menyarankan ada bagian yang secara terintegrasi di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang menentukan masalah mekanisme penentuan upah memakai prinsip-prinsip yang lebih komprehensif.
Menurut dia, penentuan di dalamnya tidak hanya didasarkan pada inflasi tetapi mempertimbangkan aspek produktivitas. "Di Indonesia kemungkinan upah lebih tinggi dibanding produktivitas dan itu yang menjadi masalah," ujarnya.
Latif mengakui Indonesia mengalami peningkatan indeks produktivitas pekerjanya namun jumlahnya kalah dibandingkan negara lain seperti Cina. Karena itu secara relatif rasio produktivitas tenaga kerja Indonesia mengalami penurunan.
Ia mencontohkan pada awal 2000 produktivitas Indonesia 70 persen dan 2010 pada posisi 60 persen, karena Cina lebih meningkat pesat di bandingkan Indonesia, katanya.
Ia mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan lambatnya peningkatan produktivitas pekerja Indonesia, seperti belum adanya revitalisasi 'link and match' antara dunia pendidikan dengan industri kerja.
Hal itu menurut dia menyebabkan perusahaan memerlukan waktu yang lama untuk melatih pekerja untuk menjadi tenaga terampil dan sesuai standar perusahaan. Selain itu, peran Balai Latihan Kerja (BLK) semakin termarjinalkan terutama sejak era reformarsi yang menyebabkan balai itu didesentralisasikan di daerah.
Pemerintah Daerah, menurut Latif malah memandang peran BLK itu tidak penting sehingga jumlahnya menurun secara kualitas maupun kuantitas. "Modul-modul dalam BLK itu banyak disusun sebagai keinganan balai itu bukan mencoba menyesuaikan dengan kebutuhan industri dan dunia kerja," katanya.
Sebelumnya Ketua Komite Tetap Kebijakan Pendidikan dan Sumber Daya Manusia Kadin Indonesia, Suharyadi mengatakan saat ini masih ada permasalahan dalam kualitas pendidikan di Indonesia salah satunya masih rendahnya kompetensi Perguruan Tinggi.
Hal itu menyebabkan rendahnya daya saing pendidikan dan SDM Indonesia dalam persaingan global. "Masih rendahnya 'link and match' dunia pendidikan dengan dunia kerja sehingga menyebabkan semakin banyak pengangguran terdidik di Indonesia," ujar Suharyadi di Jakarta, Rabu (28/11).
Ia menekankan perlunya pendidikan berbasis karakter sehingga bisa menghasilkan SDM yang profesional secara akademis dan tangguh dalam menghadapi dunia kerja.