Jumat 02 Nov 2012 23:23 WIB

Konflik Lampung Menyangkut Sejarah-Sosiologis

 Sejumlah petugas TNI mengevakuasi korban bentrok antar warga di lokasi kejadian Desa Sidoreno Kecamatan Waypanji, Lampung Selatan, Ahad (28/10).
Foto: Kristian Ali/Antara
Sejumlah petugas TNI mengevakuasi korban bentrok antar warga di lokasi kejadian Desa Sidoreno Kecamatan Waypanji, Lampung Selatan, Ahad (28/10).

REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA--Konflik berupa bentrokan antarwarga di Lampung Selatan menyangkut faktor sejarah dan sosiologis terkait dengan politik etis pada zaman Hindia Belanda tentang program irigasi, edukasi, dan transmigrasi, kata seorang peneliti.

"Hal itu menyebabkan terjadinya proses 'state building' dan akumulasi kapital, sehingga memunculkan perubahan demografi. Perubahan itu salah satunya kemudian menyebabkan gesekan antara warga asli dengan pendatang (transmigran)," kata peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Mohtar Mas'oed di Yogyakarta, Jumat.

Menurut dia menanggapi konflik antarwarga di Lampung Selatan belum lama ini, bentrokan antarwarga tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konflik yang terjadi sebelumnya, dan kembali terulang.

"Konflik itu tidak hanya melibatkan suku-suku yang ada di Lampung Selatan, tetapi juga memiliki akar persoalan yang lebih dalam," kata Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.

Ia mengatakan beberapa konflik yang sempat terjadi sebelumnya itu di antaranya terkait dengan persoalan transmigrasi, Perkebunan Inti Rakyat (PIR), dan tambak udang.

"Jadi, konflik tersebut merupakan kasus yang berulang dan lebih dalam lagi akar-akar persoalannya. Kebetulan kasusnya dipicu persoalan perempuan kemudian membesar hingga muncul korban," kata Mas'oed.

Peneliti PSKP UGM Samsu Rizal Panggabean mengatakan terulangnya konflik itu menunjukkan kegagalan dari pemerintah khususnya aparat keamanan untuk mencegah kejadian tersebut karena terjadi di tempat yang memang rawan sebuah konflik terulang lagi.

"Penanganan konflik tersebut harus lebih serius dari apa pun yang sudah dilakukan oleh pemerintah daerah, polisi, dan tokoh masyarakat di Lampung Selatan setelah insiden-insiden sebelumnya," katanya.

Menurut dia, aparat keamanan tidak berhasil menurunkan ketegangan dan mencegah kekerasan karena intervensi mereka dilakukan ketika konflik sudah hampir meluas. Dalam kasus itu yang terjadi bukan pembiaran tetapi kegagalan mencegah kekerasan pada tahap awal konflik.

Kejadian tersebut, kata dia menunjukkan rekam jejak polisi, militer, dan pemerintah tidak bagus dalam menanggulangi kekerasan yang sebelumnya terjadi.

"Untuk daerah yang memiliki banyak indikator konflik termasuk insiden dan kekerasan yang berulang seperti di Lampung Selatan, pencegahan harus menjadi pendekatan utama pemerintah, aparat keamanan, dan masyarakat," kata Rizal.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement