REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum tata negara Fajrul Falakh melihat, pemilih di Indonesia sudah mulai percaya diri dan menyadari bahwa suara mereka yang menentukan nasib partai, termasuk juga di parlemen.
Ini terlihat dalam dua kali pemilu terakhir ketika ada partai yang keluar dari parlemen dan ada partai baru yang masuk.
‘’Itu membuktikan bahwa pemilih punya rasionalitas dan itu mempengaruhi hasil pemilu. Sehingga partai bisa terpental untuk atau paling tidak untuk yang satu periode dianggap pemilih menarik, itu bisa masuk,’’ papar dia Senin (29/10).
Karenanya, ujarnya, penurunan jumlah partai pada proses verifikasi administrasi untuk menjadi peserta pemilu dianggap dapat membuat suara pemilih lebih terkonsolidasi. Artinya, pemetaan terhadap suara pemilih dapat lebih mudah dilakukan.
‘’Kalau yang dipilih hanya tiga, kira-kira dari 100 persen akan jadi 30 persen tiap partai. Dibanding 40, 16 partai itu lebih terkonsentrasi. Meski pun untuk pilihan itu baru terjadi kalau partai jelas ideologinya,’’ seloroh dia.
Dengan jumlah yang lebih sedikit pula KPU akan diringankan untuk penyelenggaraan pemilu. Karena mengelola 16 peserta akan lebih ringan ketimbang 34 peserta yang sebelumnya masuk ke tahapan verifikasi administtasi. Keringanan ini terlihat antara lain dari sisi penggunaan kertas suara. Baik dari sisi tampilan mau pun biaya pembuatan.
Dampak lainnya, lanjutnya, akan memudahkan beban pada saat penghitungan suara. Ini lantaran kompleksitas yang harus dilalui menurun. ‘’Kalau jumlah peserta 34, maka harus dicermati 34 akun. Sekarang hanya tinggal 16, berarti hanya 16 akun. Itu sudah cukup meringankan,’’ pungkas dia.