Senin 29 Oct 2012 17:29 WIB

Orangtua 'Gaptek', Anak Bebas Tengok Situs Porno

Rep: Bilal Ramadhan/ Red: Djibril Muhammad
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Gumelar
Foto: Prayogi
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Gumelar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Korban pemerkosaan di Depok, SAS (14 Tahun) berawal dari pertemanan yang dilakukan di situs jejaring sosial Facebook. Hal ini tentunya menambah deretan panjang korban-korban yang masih anak-anak terhadap kejahatan seksual di dunia maya.

Rupanya hal ini diperparah dengan kurangnya pengawasan dari orangtua terhadap anak-anak yang menggunakan jaringan internet, entah untuk menggunakan jejaring sosial maupun melihat konten-konten porno. Orangtua juga sebagian besar masih tidak mengerti penggunaan internat atau kerap disebut gagap teknologi alias gaptek.

Berdasarkan survei yang dilakukan LSM Gerakan Jangan Bugil di Depan Kamera (GJBDK) yang melakukan wawancara terhadap orangtua di 28 provinsi pada 2007, menunjukkan hanya 10 persen orangtua yang paham pemakaian internet dan peralatan games online yang digunakan anak-anaknya.

Survei ini juga menunjukkan rata-rata pengakses materi pornografi di internet yaitu anak-anak berusia 11 tahun. Sebanyak 90 persen dalam mengakses materi pornografi dilakukan pada saat anak sedang mengerjakan tugas sekolah atau belajar bersama.

"Kondisinya belum berubah mengingat anak-anak Sekolah Dasar (SD) sudah diberikan handphone dan setiap saat mereka bisa connect ke dunia maya," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari Gumelar dalam sambutannya di acara Conference on Sexual Crimes Against Children Online di Hotel Mercure, Jakarta, Senin (29/10).

Linda menambahkan, peran aktif orangtua dalam mengawasi tingkah laku anaknya, terutama di dalam rumah sangat diperlukan. Orangtua harus memberikan pendampingan dan pemahaman kepada remaja putri yang hobi menggunakan jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter.

"Dampingi dan berikan pemahaman kepada remaja putri untuk tidak mengobral data pribadi dengan mudahnya dan jangan gampang terkena bujuk rayu dari kenalan barunya," ujarnya.

Menurutnya hal ini dapat meningkatkan kejahatan seksual anak-anak melalui online atau internet dan sekaligus menjadi pemicu kasus kekerasan dan trafficking anak. Kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak tidak hanya terjadi dalam batas wilayah negara Indonesia melainkan bersifat lintas batas.

Ia menyontohkan baru-baru ini ada penangkapan seorang trafficker yang menawarkan perempuan-perempuan muda secara online dengan jumlah korban di atas dua ribu orang dari beragam latar pendidikan dan profesi. Kejahatan ini baru terungkap setelah dua tahun beroperasi.

"Hal ini menyiratkan bahwa kasus trafficking terhadap perempuan dan anak, baik secara online maupun tidak, merupakan kejahatan sindikat  yang terorganisir. Sehingga kita perlu bersinergi dan bekerjasama untuk memberantas sindikat ini," tegas isteri dari Agum Gumelar ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement