REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Korps Lalu Lintas (Korlantas) Mabes Polri menggugat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait penyitaan barang bukti sejumlah dokumen dalam kasus korupsi simulator SIM. Tindakan Korlantas tersebut dianggap bentuk pembangkangan Korlantas kepada atasan tertingginya yaitu Presiden RI.
"Jadi dari sisi hukum tata negaranya ada yang bermasalah. Pidato presiden kemarin yang menginstruksikan kasus simulator SIM diserahkan ke KPK tak ada tuahnya. Karena itu Polri dengan berbagai cara mencoba mengabaikan pidato presiden dengan gerakan-gerakan yang tak perlu," kata Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PuSAKO) Universitas Andalas Feri Amsari saat dihubungi Republika, Kamis (25/10).
Menurut Feri, dari sisi kode etik advokat, ada yang tidak beres dengan advokasi yang dilakukan oleh Korlantas. Di mana, advokat yang mereka gunakan adalah advokat yang juga menangani tersangka kasus simulator SIM, Irjen Pol Djoko Susilo, yang merupakan mantan Kepala Korlantas.
"Ini bentuk guyonan yang tidak lucu. Ini juga berarti Polri melindungi jenderalnya yang melakukan pelanggaran hukum," kata Feri.
Menurut Feri, KPK dalam melakukan penyitaan tidak mungkin mengambil barang atau dokumen yang tidak berkaitan dengan perkara. Mungkin saja di awal ada yang menilai bahwa dokumen yang diambil tak berhubungan dengan perkara, tetapi dalam proses penyidikan pasti ada hubungannya.
"Kalau alasan Korlantas menggugat karena ada dokumen-dokumen yang disita KPK tak berkaitan dengan perkara, itu mengada-ada saja," katanya.