Senin 22 Oct 2012 20:32 WIB

Koalisi Masyarakat Sipil Tolak RUU Kamnas, Sebut Ancam Demokrasi

Rep: Ira Sasmita/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Demo menolak RUU Kamnas di Markas Kodam VII Wirabuana, Makassar, Sulawesi Selatan.
Foto: Antara
Demo menolak RUU Kamnas di Markas Kodam VII Wirabuana, Makassar, Sulawesi Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional yang draftnya tengah dibahas di DPR, ramai ditolak oleh berbagai lapisan masyarakat. Alasannya, RUU Tersebut dinilai mengancam kebebasan dan demokrasi. Beberapa lembaga sosial masyarakat (LSM) yang menamakan dirinya Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan menegaskan penolakan terhadap RUU tersebut.

Gabungan LSM seperti Imparsial, Kontras, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, LBH Jakarta hingga Indonesia Corruption Watch (ICW) itu menyatakan pencetusan RUU Kamnas tidak memiliki landasan yang kuat, serta mengada-ada. Isi yang dirancang dalam Undang-Undang itu juga dinilai mengandung multitafsir dan mengancam kebebasan sipil warga negara Indonesia.

"Alasan urgensi terhadap RUU Kamnas tidak jelas. Tidak ada urgensi sama sekali. Jangan seolah-olah tidak adanya UU Keamanan akan mengancam keamanan dan stabilitas nasional," kata Direktur Program Imparsial, Al Araf, di Jakarta, Senin (22/10).

Dia menganggap terdapat bias antara sekuritisasi dengan pengabaian prinsip-prinsip hak asasi manusia. Sebab, pasal-pasal yang dibahas dalam RUU Kamnas secara vulgar mengarah pada semakin terbatasnya kebebasan masyarakat sipil di Indonesia.

Penjelasan serupa juga disampaikan Direktur Eksekutif Kontras, Haris Azhar. Menurut dia, RUU Kamnas melegetimasi pelanggaran kebebasan sipil secara langsung. Seperti pasal penangkapan, penahanan, dan penyadapan. Dimana Badan Intelijen Negara (BIN) dan TNI diberi kewenangan melakukan penangkapan sebagaimana diatur dalam Pasal 51 huruf e.

"Itu bukan hanya merusak mekanisme criminal justice system, tetapi juga membajak sistem penegakan hukum. Merek bukan lembaga yang menjadi bagian dari aparat penegak hukum, tapi dapat kewenangan seperti itu. Itu sama dengan melegalisasi kewenangan penculikan," ujar Haris.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement