REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Beberapa waktu belakangan ini masyarakat kerap disuguhi pemberitaan soal oknum-oknum pegawai pajak yang ditangkap oleh aparat penegak hukum. Kasus terbaru yang terjadi saat ini adalah penangkapan oknum pegawai pajak berinisial TH dan AS yang ditangkap oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sang Nyoman Suwisma, Ketua Pelaksana Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) menilai bahwa penangkapan tersebut sebagai bukti bahwa masih adanya korupsi di tubuh Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. Karena itu, menurut dia, gerakan anti korupsi harus terus diperbaiki dan ditingkatkan di institusi tersebut. “Orang-orang pajak harus evaluasi celah-celah mana yang banyak dikorupsi,” kata dia. Peluang adanya kongkalikong antara oknum pegawai pajak dan para pengemplang pajak harus terus diminimalisir dan dicegah.
Terbongkarnya kasus korupsi ini tak terlepas dari peran whistleblowing system. Dengan whistleblowing system, pelaku atau calon pelaku akan merasa terancam dengan kehadiran orang lain yang mengetahui atau ingin mengetahui kekayaannya. Ancaman hukuman yang berat juga diharapkan dapat memaksa calon pelaku untuk mengurungkan niat melakukan pelanggaran.
Whistleblowing system juga mempunyai sisi positif karena adanya penerapan asas deteksi dini. Dalam penerapan asas tersebut, setiap pegawai di lingkungan Ditjen Pajak diwajibkan untuk melaporkan pelanggaran atau indikasi pelanggaran yang diketahuinya. Kewajiban ini disertai dijaminnya kerahasiaan pelapor (whistleblower), perlindungan dan penghargaan terhadap pelapor.
Terlepas dari sisi positif dari whistle blowing system ini, Nyoman menilai bahwa cara ini masih belum efektif untuk mencegah adanya korupsi. ”Masih kurang efektif. Buktinya masih ada karyawan-karyawan yang tidak kapok-kapok melakukan korupsi walaupun sudah diawasi dan sudah ada punishment,” kata dia. Karena itu, Nyoman menyarankan perlu adanya pengawasan ketat serta tindakan tegas dari pimpinan. “Atasan juga harus sensitif terhadap oknum bawahan yang melakukan penyimpangan. Jangan telat menegur,” kata dia. Dia menambahkan peran masyarakat juga harus terus dilibatkan. Hal ini untuk mencegah dan meminimalisir peluang terjadinya korupsi.
Semangat untuk memerangi korupsi ini sejalan dengan reformasi birokrasi yang digalakkan Ditjen Pajak. Langkah ini sudah dimulai sejak 2002 melalui penerapan hukuman disiplin kepada pegawai yang menyalahgunakan wewenang. Lima tahun terakhir, jumlah pegawai yang terkena sanksi disiplin terus meningkat signifikan.
Pada 2007, jumlah pegawai yang terkena sanksi disiplin sebanyak 196 orang. Angka itu berlipat ganda pada tahun 2008 menjadi 406 orang. Pada 2009 dan 2010 berturut-turut Ditjen Pajak memberikan sanksi disiplin kepada 516 dan 657 pegawai. Sedangkan sepanjang tahun 2012 ini, sudah ada 39 pegawai yang dijatuhkan sanksi.
Reformasi birokrasi ini juga dilakukan terhadap 32 ribu pegawai yang tersebar pada 571 kantor di seluruh Indonesia. Dengan adanya sistem ini maka diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat. Langkah ini disambut positif oleh Nyoman. “Sejauh ini, pelayanan pajak sudah cukup bagus,” kata dia.
Ke depannya, Nyoman menyarankan perlu adanya sosialisasi pajak terkait cara perhitungan, keringanan-keringanan dalam pembayaran, manfaat dan Undang-Undang terkait pajak kepada masyarakat. “Sosialisasi terkait pajak harus terus dilakukan pemerintah sampai masyarakat memahami. Jika masyarakat sudah memahami ini, maka mereka akan setia membayar pajak” pungkasnya.