Rabu 17 Oct 2012 10:52 WIB

Penyerbuan Polisi dan Curhat Novel

Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ahmad Syafii Maarif

Ibarat petir di siang bolong, pada malam 5 Oktober 2012 serombongan polisi dari Mapolda Bengkulu dibantu oleh temannya dari Provost Metro Jaya telah menyerbu gedung KPK untuk menangkap koleganya sendiri Kompol Novel Baswedan, salah seorang penyidik inti lembaga pemberantasan korupsi itu. Saya tidak tahu apakah Irjen Pol Untung S Radjab, kapolda Metro Jaya (yang saya kenal secara pribadi), mengetahui bahwa anak buahnya telah ikut bermain secara kasar dan tidak bermartabat itu.

Karena itu, tidaklah mengherankan kemudian reaksi publik demikian masif terhadap insiden buruk itu dengan membawa slogan dukungan kuat kepada KPK. Dan, nama Novel pun meroket secara spektakuler. Getaran nuraninya bersambung dengan getaran nurani publik.

Namun, yang sedikit menggelikan di antara slogan itu bertuliskan KPK (Ke mana Presiden Kita) untuk menyindir atasan Kapolri yang tidak lain adalah Presiden Republik Indonesia yang saat kejadian terkesan membisu. Karena desakan begitu dahsyat, akhirnya pada 8 Oktober malam selama 40 menit Presiden menggelar konferensi pers yang melegakan masyarakat.

Bagi saya, sikap Presiden kali ini patut dihargai, tidak usah ditelusuri lagi apakah itu autentik atau karena terpaksa, demi citra yang semakin merosot dari waktu ke waktu. Serbuan polisi itu tentu tidak mendadak, pasti ada permainan kongkalikongdengan kasus simulator SIM yang menghebohkan itu. Kompol Novel ditugaskan KPK untuk menangani kasus panas ini.

Di kalangan publik, Novel dikenal sebagai polisi yang punya integritas tinggi dalam menjalankan tugas kenegaraan melawan korupsi. Dengan kepribadian yang lembut, ternyata tersimpan di dalamnya keberanian yang tahan banting, mewarisi darah kakeknya AR Baswedan yang dikenal tidak punya takut dalam membela yang benar.

Dengan menggunakan media sosial facebook, Kompol Novel mencurahkan perasaan dan isi hatinya terhadap perlakuan buruk atas dirinya. Curhat ini terbaca luas di media cetak dan elektronik yang dengan sangat mudah diakses oleh siapa saja.

Curhat itu bertanggal 7 Oktober, dua hari pascaserbuan di KPK itu. Curhat ini bukan untuk merengek, melainkan justru membongkar sisi-sisi gelap dari lembaga kepolisian, sesuatu yang sebenarnya sudah lama jadi perbincangan publik: kapan kepolisian ini mau berkaca diri, sesuai dengan filosofi tugas- nya sebagai pelindung dan pelayan masyarakat.

Ada tiga alinea dari curhat Novel ini yang patut dikutip dalam tulisan ini, sesuai dengan aslinya dalam cetakan miring. Alinea pertama: "Kasus yang dituduhkan kepada saya adalah fitnah, dan hal seperti ini bukan pertama kali saya alami. Yang belakangan membuat saya SANGAT KECEWA, rupanya atas kriminalisasi terhadap saya digunakan untuk memukul KPK dgnupaya penangkapan dan penggeledahan di kantor KPK. Upaya tersebut diketahui dan direncanakan oleh petinggi Polri ygselama ini memersepsikan dirinya sebagai orang baik. Berhentilah beretorika, takutlah dengan azab Allah."

Jika bukan seorang pemberani, mustahil pernya taan itu akan keluar dari seorang Novel.

Alinea kedua: "Pimpinan Polri mestinya tidak boleh marah bila praktik pungli di samsat-samsat, yang melalui dealer dan penggunaan dana negara untuk pengadaan dengan mark up dihentikan oleh KPK atau aparatur pemberantasan korupsi lainnya. Sudah saatnya transparansi dan tdkbodohi masyarakat." Apa yang yang dikatakan Novel adalah nyata dan telah berlangsung puluhan tahun, sudah sangat kronis, tetapi tetap saja berlangsung.

Alinea ketiga: "Pimpinan Polri harus mulai melakukan kejujuran terhadap masyarakat.

Mulai saja dari hal yang kecil. Hilangkan pungutan-pungutan yang sendiri-sendiri dan yang terkoordinir oleh dealer mobil atas surat kendaraan di seluruh samsat di Indonesia. Dan, jangan lagi gunakan uang negara untuk pengadaan yang mark up."

 

Jika pihak kepolisian memang bersedia mereformasi lembaganya, semestinya jeritan Novel ini didengar dan dilaksanakan. Bahkan, malah mau dihabisi. Bukankah cara yang tak elok ini adalah bagian dari kultur hitam? Sebuah negara memang tidak mungkin tanpa polisi, tetapi bila institusi ini tidak tanggap terhadap saran dan kritik publik, jangan berharap wibawanya dapat ditegakkan. Oleh sebab itu, polisi mesti kembali pada filosofi tugasnya: melindungi dan melayani masyarakat luas.

sumber : Resonansi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement