REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) menyatakan bahwa kasus bioremediasi (pemulihan tanah terpapar minyak) dapat mengganggu iklim investasi pada sektor minyak dan gas (migas) di Indonesia
"Perusahaan-perusahaan migas kini harus mempertimbangkan ulang untuk menginvestasikan modalnya karena khawatir mengalami hal yang serupa dengan kasus bioremediasi yang kami alami," kata Vice President Policy, Goverment and Public Affairs CPI Yanto Sianipar di Jakarta, Senin.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung menuduh proyek bioremediasi yang dilakukan Chevron di Riau, Sumatera bersama dua kontraktor adalah fiktif. Lembaga penegak hukum tersebut menduga negara merugi Rp200 milyar melalui dana `cost recovery`.
Bioremediasi sendiri adalah metode untuk membersihkan tanah yang terkena limbah produksi minyak dengan menggunakan mikroba. Selama 3-6 bulan, mikroba itu dengan metabolismenya mengubah senyawa minyak menjadi senyawa air dan gas tidak beracun.
Chevron sendiri memulai proyek percontohan bioremediasi pada 1994. Program itu mulai beroperasi secara penuh tahun 2003 dan sampai 2011 lalu, investasi untuk bioremediasi tercatat sebesar 10,5 juta dolar AS.
Dengan tuduhan Kejaksaan Agung tersebut, Yanto mengatakan bahwa Chevron mulai ragu untuk menginvestasikan modalnya untuk pengembangan teknologi ramah lingkungan sebagaimana Bioremediasi. "Langkah kami untuk berinvestasi tidak lagi semantab sebelum adanya kasus bioremediasi," kata dia.
Menurut Yanto, pelaku industri migas memerlukan kepastian hukum untuk melakukan ekspansi ataupun memulai usaha. Kasus yang dialami Chevron menurut dia tidak menyediakan prasyarat itu.
Yanto menjelaskan, operasi Chevron di Indonesia, termasuk program bioremediasi, berdasar pada Kontrak Bagi Hasil (`production sharing contract`-PSC) dengan pemerintah yang diwakili oleh BP Migas. Posisi Chevron dalam PSC adalah kontraktor yang mengelola blok-blok migas yang dipercayakan oleh BP Migas.
Segala persoalan terkait dengan kinerja Chevron sebagai kontraktor, dalam pandangan Yanto, harus dikembalikan pada kesepakatan awal, yaitu Kontrak Bagi Hasil. "Oleh karena itu, persoalan bioremediasi seharusnya diselesaikan dalam payung hukum perdata," kata Yanto.