REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyidik Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan menggelar rekonstruksi 15 adegan penusukan mendiang Alawy Yusianto Putra (15), siswa SMAN 6 Bulungan, Jaksel. Sayangnya, rekonstruksi tersebut digelar secara tertutup.
Sejatinya rekonstruski itu digelar terbuka, Jumat (12/10). Tapi polisi akhirnya membatalkan gelar rekonstruksi secara terbuka. Polisi beralasan, kebijakan itu lantaran permintaan keluarga para tersangka dan Undang-Undang Perlindungan Anak.
"Polisi dan pihak keluarga sepakat menggelar rekonstruksi secara tertutup," kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Selatan, Ajun Komisaris Besar Hermawan, Jumat sore.
Dijelaskan Hermawan, usia para tersangka yang dominan masih di bawah umur, menjadi alasan utama kepolisian melakukan rekonstruksi secara tertutup. Itu sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2003 Pasal 64 Ayat (2) Huruf (g), tentang perlindungan identitas anak dari media massa agar terhindar dari labilisasi.
Proses reka ulang tetap dilakukan pada waktu dan lokasi yang sama, yakni di ruang aula di dalam Markas Polrestro Jaksel. Polisi mendatangkan 12 saksi dan tujuh tersangka siswa SMAN 70 Jakarta, satu di antaranya Fitra Ramadhani (19), pembunuh Alawy. "Orang tua dari para tersangka juga hadir," ungkap Hermawan.
Namun Hermawan menegaskan pembatalan gelar rekonstruksi secara terbuka ini bukan karena desakan dari tim advokasi komite SMAN 70, yang beberapa waktu lalu menyatakan keberatan atas keputusan polisi. Keberatan itu datang menyusul penetapan enam tersangka baru dari siswa terkait, berdasarkan pengembangan penyidikan dari kepolisian.