REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Friska Yolanda-Wartawan Republika
Jumat (5/10) sore Harumi Parawita Sari (25 tahun) menaiki angkutan menuju Pasar Raya, Padang. Di sana biasanya ia menunggu angkutan kota yang membawanya ke kediamannya di daerah Belimbing, Padang, Sumatra Barat. Kondisi pasar masih sama seperti tiga tahun belakangan. Sempit, macet, kumuh, dan tidak teratur.
Antrian angkutan kota yang panjang biasanya bisa membentuk dua hingga lajur. Namun hari itu hanya satu jalur angkutan kota mengular di sepanjang jalan tersebut. Hal ini disebabkan oleh para pedagang memakai dua pertiga jalan raya yang menjadi satu-satunya akses ke Pasar Raya Padang. Pedagang sayur, buah, ikan, bumbu dapur, semua memanfaatkan ruang terbuka yang tersisa di Pasar Raya untuk menyambung hidup.
Pedagang-pedagang ini tidak punya pilihan. Mereka terpaksa memperkosa jalan raya karena tidak memiliki lapak lain yang bisa digunakan untuk berjualan. Lapak dan toko yang biasa mereka huni sudah hancur dibenam gempa tiga tahun lalu. Tiga tahun lalu, bertepatan dengan peringatan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI), 30 September.
Harumi masih bisa mengingat kejadian sore itu. Peristiwa tersebut terjadi bada Ashar, ketika sebagian besar pegawai tengah bersiap untuk pulang. Harumi saat itu masih duduk di bangku kuliah dan sedang menyelesaikan pekerjaan di depan komputer. Tanpa aba-aba bumi bergoyang perlahan, kemudian mengencang.
Ia dan seisi rumah berhamburan ke luar, mencari perlindungan. Gempa berlangsung cukup lama, sekitar empat hingga lima menit. Ketika itu ia berpikir gempa tidak akan pernah berhenti.
Setelah yakin bumi tidak lagi bergoyang, ia dan keluarga kembali ke rumah dan melihat kondisi rumah begitu berantakan. Barang-barang bergeser dari posisi awalnya, guci-guci pecah, gelas dan piring beterbangan. Listrik padam. Saluran telepon terputus. Masyarakat Padang, Sumatra Barat terisolasi.
Di langit sore yang oranye, Harumi melihat asap hitam membubung di beberapa tempat. "Beberapa rumah korslet dan terbakar," kata Harumi kepada Republika.
Ia tidak menyangka dampak gempa 7,6 skala Richter tersebut akan besar. Awalnya ia berpikir gempa ini seperti gempa-gempa di Sumatra Barat sebelumnya. Ternyata kali ini berbeda. Rumah-rumah hancur, bangunan runtuh, dan tiang-tiang listrik rubuh. Beberapa ruko yang berusia muda runtuh. Sebagian besar runtuh hanya di bagian bawahnya.
Gempa besar tidak hanya sekali dirasakan oleh masyarakat Sumatra Barat. Setelah gempa Aceh yang menyebabkan tsunami pada akhir 2004, Sumatra Barat ikut merasakan dampaknya. Namun tidak pernah berakibat separah tahun 2009. Sumatra Barat termasuk daerah yang rawan gempa karena berada di zona pertemuan dua lempeng, yaitu lempeng Indo Australia dan Eurasia. Kondisi kedua lempeng masih sangat aktif sehingga ketika keduanya bertautan, masyarakat di pesisir pantai Sumatra akan merasakan goyangannya.
Beberapa gempa yang terjadi di Sumatra Barat tidak hanya sekali getaran saja, tetapi bisa berlangsung beberapa kali. Kadang gempa susulan cukup terasa, namun tidak jarang pula tidak begitu dirasakan masyarakat awam. Kedatangannya tidak bisa diprediksi, terkadang di siang hari, juga pernah di tengah malam buta.
Gempa pada 30 September 2009 telah merusak wilayah Padang, Pariaman, dan Agam. Gempa ini merupakan salah satu yang terbesar dengan korban terbanyak di Sumatra Barat. Berdasarkan data yang dikumpulkan Pemerintah Provinsi Sumatra Barat total korban tewas mencapai 1.115 orang. Peristiwa ini disusul oleh gempa di Kepulauan Mentawai pada 25 Oktober 2010. Gempa plus tsunami ini telah menyeret 408 korban meninggal.
Dilihat dari kondisi Sumatra Barat pada saat itu, baik masyarakatnya maupun pemerintah tidak siap menghadapi bencana, terutama gempa. Jangankan jalur evakuasi gempa, sosialisasi geografis daerah saja tidak ada. Barulah setelah gempa 2009 pemerintah daerah tersadarkan betapa pentingnya edukasi gempa di masyarakat. Beberapa lama pascagempa pemerintah mulai mendesain jalur evakuasi dan membuat peta rawan gempa.
Sayangnya saat ini penanggulangan gempa di Sumatra Barat masih belum matang. Penanggulangan gempa di Sumatra Barat baru sekadar petunjuk jalur evakuasi dan peta rawan bencana. Apa yang dibutuhkan masyarakat Sumatra Barat saat ini adalah shelter untuk mengantisipasi terjadinya macet di jalur evakuasi. Ini, jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari.
Berdasarkan pantauan Republika, jalur evakuasi di Kota Padang yang merupakan ibukota Sumatra Barat kebanyakan berupa jalan sempit yang landai. Hal ini memungkinkan terjadinya kemacetan sehingga penyelamatan diri bisa terlambat. Di beberapa tempat seperti wilayah Siteba terdapat beberapa jalur bottle neck sehingga jalur terhambat dan masyarakat terjebak di tengah kota. Seluruh jalur evakuasi adalah menuju ke arah Jalan Bypass yang posisinya lebih tinggi dan jauh dari bibir pantai.
Jalur evakuasi dan shelter antigempa ini mendesak dibangun di Padang dan sekitarnya. Sumatra Barat merupakan jalur gempa dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperkirakan wilayah ini akan mengalami goncangan kembali. Kali ini skalanya akan lebih besar dan disertai tsunami. Bila infrastruktur tidak segera dibangun, besar kemungkinan nasib masyarakat Sumatra Barat akan sama seperti di Nangroe Aceh Darussalam, delapan tahun lalu.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, mengungkapkan wilayah Sumatra Barat berisiko dilanda gempa di atas delapan Skala Richter disertai tsunami hebat. “Hanya kami tidak dapat memprediksi kapan,” ujar Sutopo, baru-baru ini.
Potensi gempa ini merupakan hasil kajian ahli geologi terhadap fenomena belum terlepasnya energi tumbukan lempeng Indo-Australia dan Eurasia. Hal ini berpotensi gempa mencapai 8,9 skala Richter dan menyebabkan tsunami. Oleh karena itu ia berharap masyarakat Sumatra Barat siap siaga.
Kepala BNPB, Syamsul Maarif, mengungkapkan tempat penampungan atau shelter di Sumatra Barat masih sedikit. Shelter yang ada justri kebanyakan berasal dari swadaya masyarakat. BNPB berencana akan membangun lebih banyak lagi shelter yang mampu menampung sekitar 1.500 hingga 2 ribu orang.