Senin 08 Oct 2012 10:48 WIB

Kapolri dan KPK Diminta Lebih Arif

Presiden berbicara kepada Ketua KPK Abraham Samad dan Kapolri Jenderal Timur Pradopo.
Foto: ANTARA/Abror/ss/Spt/12
Presiden berbicara kepada Ketua KPK Abraham Samad dan Kapolri Jenderal Timur Pradopo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perseteruan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri kembali memanas. Namun, kedua lembaga diminta untuk tidak saling mengedepankan egosentris masing-masing agar masalah yang terjadi dapat cepat terselesaikan.

Permintaan itu disampaikan Komite 33, salah satu ormas pendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Pilpres tahun 2009 lalu. "Kapolri Timor Pradopo harus lebih arif dan bijak dalam mengambil langkah taktis dan penyelesaian masalah ini,” kata Wakil Ketua Komite 33, Jemmy Setiawan, di Jakarta, Ahad (7/10) malam.

KPK juga diimbau untuk lebih arif dalam menyikapi perseteruan tersebut. “KPK jangan berteriak-teriak agar presiden harus turun tangan dalam menyelesaikan konflik tersebut,” imbuhnya.

Menurut Jemmy, KPK harus mengingat jika Menko Polhukam, Joko Suyanto sudah memberi perintah langsung kepada Kapolri agar menarik provost yang diagendakan menjemput penyidik Polri yang ditugaskan di KPK, Kompol Novel Baswedan.

Menurutnya, perintah penarikan provost adalah sikap pemerintah. Karena, Menkopolhukam merupakan kepanjang tangan Presiden.

“Hadirnya Denny Indrayana sebagai Wamen Menkumham di KPK ada bukti kongkrit dukungan pemerintah kepada KPK dalam menjalankan cita-citanya untuk memberantas korupsi," sebut Jemmy.

“Jadi Ketua KPK Abraham Samad juga jangan asal 'nyablak' kalau bicara,” ujar Jemmy mengakhiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement