REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dinilai tidak terlalu penting dalam konteks pemilu. Bawaslu dinilai hanya menghambur-hamburkan uang saja tanpa hasil yang jelas.
"Mahal lho harganya. Lalu Bawaslu produknya apa?" tanya mantan anggota Komisi Pemilihan Umum, Chusnul Mar'iyah, saat rapat dengar pendapat dengan Badan Legislasi DPR terkait dengan Perubahan atas UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Senin (1/10).
Menurut Chusnul, anggaran sebesar Rp 1,3 Trilun untuk pengawasan pemilu sebaiknya diberikan kepada masyarakat sipil seperti Muhammadiyah dan NU, gereja, hindu, dan budha yang ada seluruh Indonesia untuk mengawasi pemilu.
Sebab, selama ini Bawaslu juga tidak bisa berbuat banyak apabila menemukan sejumlah kejanggalan dalam pemilu. Misalnya, ditemukan surat suara yang rusak apakah kemudian Bawaslu bisa segara memproduksi surat suara.
"Dan bisa nggak Bawaslu menjadi saksi ketika terjadi sengketa hasil perolehan suara di MK. Waktu itu tidak bisa. Oleh karena itu Panwaslu saja nggak perlu, apalagi Bawaslu," kata Chusnul.
Chusnul menambahkan, instrumen pengawasan pemilu cukup dimasukkan dalam struktur KPU dalam bentuk inspektorat pengawasan. "Jadi berada di bawah KPU dan menjadi instrumen untuk mengawasi dari dalam atau ke luar. Kalau dia di luar, dia menempatkan dirinya menjadi oponen dari KPU," jelas Chusnul.