REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – DPR RI segera membahas revisi undang-undang minyak dan gas bumi (UU Migas) nomor 22 tahun 2001. Bahkan komisi energi DPR RI sudah menjadwalkan waktu khusus untuk membahas persoalan ini.
Menurut anggota Komisi VII, Bobby Rizaldi, pembahasan akan dilakukan pekan kedua atau ketiga Oktober nanti. "Kita akan menunggu tanggapan dari masing-masing fraksi," katanya saat dihubungi ROL, Senin (24/9).
Ia pun mengatakan, khusus fraksi Golkar, pihaknya sudah memiliki sikap sendiri terhadap sejumlah poin dalam RUU Migas. Diutarakannya Golkar setuju akan penguatan peran perusahaan migas nasional dalam mengelola blok migas.
"Terutama untuk yang kontraknya segera habis," ujarnya. Partai ini menginginkan Pertamina mendominasi sejumlah blok migas yang saat ini masih berada di tangan perusahaan asing.
Terkait fungi Badan Pelaksana Kegiatan Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) sebagai wakil pemerintah yang berkontrak dengan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) asing, pihaknya menginginkan adanya pembagian tugas lebih rinci. "Apa sebagai Badah Hukum Milik Negara (BHMN), BUMN ataukah bentuk lain," kata Bobby.
Selain keberadaan BP Migas merupakan hasil reformasi dari UU Nomor 8 tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Migas, ia menilai ada hal lain yang membuat DPR berpikir demikian. Di mana negara tidak boleh menanggung risiko atas kegiatan migas. "Kita tidak ingin ada lagi kasus Karaha Bodas," tegas Bobby.
Karaha Bodas merupakan kasus hukum terkait pembangunan PLTP di Garut Jawa Barat tahun 1997 yang menyebabkan silang pendapat antara pemerintah dan Pertamina. Bobby menilai dengan keberadaan BP Migas dan Pertamina seperti sekarang, ada mekanisme check and balance yang terjadi. Hal ini terbukti membuat Pertamina kompetitif.