REPUBLIKA.CO.ID, MANGGARAI BARAT--Taman Nasional Komodo (TNK) yang berada di Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) menghadapi tantangan serius terkait pemanfaatan sumber daya laut. Hingga kini masih marak pengambilan sumber daya laut berupa ikan dengan cara pengeboman maupun penggunaan potasium sianida.
Dalam pengeboman ikan, para nelayan umumnya menggunakan dinamit. Padahal praktik itu dilakukan nelayan hanya untu mengumpulkan ikan konsumsi, yang terjadi banyak makhluk laut lain ikut menjadi korban. Penangkapan ikan dengan cara ini dapat menghancurkan dan merusak terumbu karang secara cepat dan masif.
Sedangkan penggunaan potasium sianida dimaksudkan agar ikan atau hewan pada terumbu karang lebih cepat pingsan. Cara ini juga membuat ikan atau hewan pada terumbu karang mudah di arahkan ke area tertentu. Kondisi ini jelas memudahkan nelayan untuk melakukan penangkapan. Umumnya yang menjadi sasaran adalah ikan kerapu, ikan napoleon dan lobster.
Polisi Kehutanan yang bertugas di TNK Baltasar (41 tahun) mengatakan penggunaan bom maupun potasium sianida memiliki dampak yang signifikan dari sisi hasil tangkapan.
Penangkapa ikan dengan cara biasa seperti memancing atau menggunakan cara-cara yang ramah lingkungan, selama satu hari hasil bisa berkisar antara 20 kg hingga 30 kg. Namun jika menggunakan bom maupun potasium sianida, hasil yang dicapai bisa mencapai dua hingga tiga ton.
"Harusnya disadari kalau itu hanya keuntungan sesaat tapi merusak terumbu karang. Kalau terumbu karang rusak, butuh waktu kurang lebih 30 tahun untuk tumbuh," ujar Baltasar kepada Republika di sela-sela kunjungan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan di Pulau Komodo, Senin (24/9).
Baltasar menambahkan, alasan di balik penggunaan bom maupun potasium sianida semata-mata hanyalah faktor ekonomi. Padahal sudah selayaknya nelayan-nelayan itu memerhatikan aspek keberlanjutan dari terumbu karang yang baik.