REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Sepak terjang tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri terus dipantau berbagai pihak. Sehingga, segala tindak-tanduknya pun tak luput dari pantau. Namun, jika apa yang dilakukan pasukan khusus teror tersebut, salah dalam menangkap orang, apa jadinya.
Pernyataan itulah disampaikan Direktur Eksekutif Maarif Institute, Fajar Riza Ul Haq. Ia bahkan mempertanyakan kasus salah tangkap tersangka teroris yang dilakukan tim Densus 88 Antiteror Polri di Solo pada akhir pekan lalu. "Ini perlu dipertanyakan bagaimana informasi yang disampaikan oleh intelijen," ujar Fajar di Jakarta, Senin (24/9).
Kasus salah tangkap tersebut, menurut dia, sudah sering terjadi namun banyak dialami Kepolisian. "Misalnya yang di Jawa Timur pada tahun lalu, tapi itu bukan Densus dan bisa kita maklumi karena perilaku Polisi yang kurang profesional," katanya.
Tapi yang menjadi pertanyaan, lanjut dia, jika kasus salah tangkap tersebut dilakukan oleh Densus 88 yang mendapat pelatihan khusus dan dipersenjatai dengan lengkap. "Densus hendaknya jangan hanya mencari publisitas. Lebih baik bekerja dengan baik mana target yang memang harus dicurigai," jelasnya.
Selama ini, lanjut dia, banyak yang mencurigai Densus 88 yang dijadikan alat politik. Misalnya ketika kasus korupsi merebak, lalu muncul isu terorisme. "Itu yang dikhawatirkan dan berbahaya. Aparat keamanan harus netral, kalau memang teroris ya dikejar. Selama ini, kita melihat ada motif seperti itu dan jangan dibiarkan berkembang," imbuhnya.
Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri membebaskan anggota Jemaah Ansharut Tauhid (JAT) Solo Durrahman. Durrahman sempat ditahan oleh Densus saat penangkapan sejumlah terduga teroris di kawasan Solo Square pada Sabtu (22/9).