REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Terdakwa perkara dugaan pemberian suap berupa cek pelawat kepada sejumlah anggota DPR RI terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior BI, Miranda S Goeltom menyampaikan nota pembelaan (pleidoi) selama 90 menit. Agenda sidang yang dijadwalkan pada pukul 17.00 WIB akhirnya berlangsung pukul 19.00 WIB.
Pembacaan nota pembelaan pada persidangan Miranda S Goeltom dilakukan sebanyak dua kali. Pertama adalah pleidoi pribadi dari terdakwa dan kedua adalah pleidoi dari tim penasihat hukum terdakwa.
Nota pembelaan pribadi setebal 41 halaman milik Miranda S Goeltom dibacakan di Pengadilan Tipikor tepat pukul 19.00 WIB. Pembacaan tersebut berlangsung selama 90 menit yang kemudian langsung dilanjutkan dengan pembacaan pleidoi dari tim kuasa hukum yang tebalnya mencapai 185 halaman.
Secara umum, pleidoi Guru Besar FEUI itu menyoroti lima poin pembahasan. Kelimanya berkaitan erat dengan pengakuan akan ketidakterlibatan terdakwa dalam pemberian cek pelawat kepada sejumlah anggota DPR RI.
Poin pertama, Miranda menegaskan akan adanya ketimpangan keterangan yang disampaikan saksi Nunun Nurbaetie dengan Paskah Suzetta, Endin AJ Soefihara, Hamka Yandhu dan dirinya sendiri. Ketimpangan tersebut terletak pada fakta akan adanya pertemuan di antara terdakwa dengan anggota dewan di kediaman Nunun Nurbaetie.
Menurut Miranda, pertemuan tersebut hanya diyakini oleh Nunun semata. Adapun keterangan dari saksi Lini Suparni (PRT Nunun) yang mengaku dirinya mengetahui keberadaan Miranda di rumah majikannya hanya mengatakan Miranda bertemu empat mata dengan Nunun.
"Artinya, pernyataan itu tidak memperkuat pernyataan Nunun yang mengatakan ada pertemuan antara saya, Nunun dan anggota DPR," ucap Miranda di Pengadilan Tipikor, Senin (17/9).
Poin kedua, menurut Miranda, terkait dengan keterangan Agus Condro yang tidak sejalan dengan pernyataan saksi Tjahjo Kumolo dan Emir Moeis. Ketidaksejalanan tersebut, ungkap dia, terletak pada ungkapan Tjahjo yang menyatakan Miranda S Goeltom bersedia memberikan uang senilai Rp 300 - 500 juta jika memilih dirinya menjadi DGSBI.
"Pernyataan itu hanya dilontarkan Agus Condro namun dibantah oleh dua orang rekannya yang berasal dari fraksi yang sama," jelas Miranda.
Sorotan ketiga, tutur Miranda, berkaitan dengan keterangan Fraksi TNI Polri yang tidak pernah menyatakan bahwa Miranda pernah menyampaikan harapan agar masalah pribadi tidak ditanyakan pada uji kepatutan dan kelayakan DGSBI. Miranda menegaskan, dirinya sama sekali tidak pernah meminta Udju Djuhaeri, Darsup Yusuf dan Suyitno untuk tidak menanyakan masalah pribadinya.
"Tiga orang itu juga bersaksi tidak pernah ada yang meminta mereka untuk tidak bertanya masalah pribadi Miranda," tutur Guru Besar FEUI tersebut.
Pembahasan keempat, menurut Miranda, berkenaan dengan keterangan Hamka Yandhu dan Emir Moeis di persidangan mengenai tidak adanya hubungan cek pelawat dengan keterpilihan dirinya menjadi DGSBI. Emir Moeis dan Hamka Yandhu, ungka dia, sama-sama mengaku tidak mengetahui asal cek pelawat itu.
"Dalam kesaksiannya, mereka bahkan tidak tahu kalau uang itu berkaitan dengan pemilihan DGSBI, mereka pun menolah cek itu pada akhirnya," ujar Miranda.
Terakhir, ucap Miranda, tidak pernah ada bukti yang mengatakan dirinya mengetahui cek pelawat yang disebarkan ke anggota dewan. Semua saksi, tutur dia, tidak pernah sekalipun menyebutkan bahwa cek pelawat tersebut berasal dari dirinya.
"Berkaitan dengan pernyataan Agus Condro, dia hanya satu saksi yang mengatakan bahwa saya menjanjikan uang Rp 300 - 500 juta. Kualitas kesaksian itu adalah unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi)," jelas perempuan yang mengenakan jas dan rok abu-abu itu