Selasa 11 Sep 2012 21:25 WIB

Puluhan Peneliti Berembuk Bahas Kekeringan di NTT

Rep: Muhammad Fakhruddin/ Red: Djibril Muhammad
kekeringan - ilustrasi
kekeringan - ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG – Puluhan peneliti berkumpul di Nusa Tenggara Timur (NTT) membahas bencana kekeringan yang melanda sejumlah wilayah di Tanah Air. Para peneliti Badan Litbang Pertanian dari seluruh Indonesia mencari formulasi untuk mendongkrak hasil pertanian di lahan kering beriklim kering.

Kepala Badan Litbang Kementerian Pertanian RI, Haryono, mengatakan, seluruh peneliti pertanian Indonesia diundang ke sini untuk melihat model pertanian lahan kering beriklim kering. Karena, Badan Litbang Pertanian telah membangun konsorsium litbang lahan kering beriklim kering yang tujuan utamanya adalah untuk mengembangkan Sistem Pertanian Terpadu Lahan Kering Beriklim Kering (SPTLKIK).

"Kegiatan utama konsorsium ini berada di propinsi NTT dan akan dikembangkan juga di NTB sebagai pilot project SPTLKIK," kata Kepala Badan Litbang Kemeterian Pertanian, Haryono, Selasa (11/9).

Haryono mengatakan ciri utama sistem pertanian terpadu ini adalah eksplorasi sumber daya air permukaan dan air tanah yang digunakan dengan seefektif mungkin, dengan dukungan konsep minimum run off dan pengembangan embung, zero waste, serta pemanfaatan varietas dan berbagai teknologi unggul lainnya.

Sehingga, lahan kering di iklim kering masih yang banyak tidak termanfaatkan di sejumlah daerah masih bisa  dioptimalkan menggunakan model pertanian terpadu seperti ini. Lahan kering merupakan salah satu sumber daya lahan sub-optimal yang sangat potensial dan strategis untuk mendukung ketahanan pangan nasional.

"Di masa yang akan datang LKIK yang luasnya 6,68 juta ha ini akan semakin penting, mengingat semakin terbatasnya lahan subur," katanya.

Daerah lahan kering beriklim kering tersebar di beberapa provinsi. Terluas terdapat di propinsi NTT (3,35 juta ha) dan NTB 1,8 juta ha dan lebih dari 2,2 juta ha diantaranya sangat potensial untuk pertanian. Permasalahan utama yang dihadapi adalah ketersediaan air dengan curah hujan kurang 2.000 mm dan 3-4 bulan basah, sehingga titik ungkit utama pengembangannya adalah ekplorasi dan optimalisasi sumberdaya air.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement