Senin 27 Aug 2012 19:21 WIB

Ini Kronologi Bentrok Sampang Versi Bassra

Rep: umi lailatul/ Red: Taufik Rachman
  Personel Brimob mengawal sejumlah perempuan dan anak-anak, ketika berlangsungnya evakuasi dari tempat persembunyian mereka, di Desa Karanggayam dan Desa Bluuran, Sampang, Jatim, Senin (27/8). (Saiful Bahri/Antara)
Personel Brimob mengawal sejumlah perempuan dan anak-anak, ketika berlangsungnya evakuasi dari tempat persembunyian mereka, di Desa Karanggayam dan Desa Bluuran, Sampang, Jatim, Senin (27/8). (Saiful Bahri/Antara)

REPUBLIKA.CO.ID,SAMPANG-Kerukunan antar umat beragama kembali terusik. Hal ini terjadi menyusul aksi bentrok antara kaum Syiah dengan anti-Syiah di Sampang, Madura, Jawa Timur, Ahad, (27/8) kemarin.

Badan Silaturahim Ulama Pesantren Madura (BASSRA) menyampaikan kronologis dari kejadian bentrokan di Sampang tersebut. KH Ali Karror, anggota ulama BASSRA mengatakan lembaganya pernah berkunjung ke Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat pada Januari 2012 lalu.

Dalam kunjungan itu, BASSRA memaparkan fatwa sesat aliran Syiah yang telah dikeluarkan MUI Jawa Timur. Karena itu, mereka menuntut MUI Pusat mengeluarkan fatwa yang sama. Selain itu, dalam pertemuan tersebut juga dibahas tentang penanganan konflik Syiah dengan umat Islam Sampang, Madura.

‘’Seiring waktu berlalu, Ulama BASSRA tetap terus memperjuangkan aspirasi umat Islam Madura. Umat Islam Madura tidak menginginkan aliran sesat Syiah ada di wilayahnya,’’ kata dia.

Berikut ini adalah kronologis sebelum terjadinya penyerangan Sampang pada Ahad, (26/8) kemarin menurut Ali Karror.

Pada 19 Juli 2012, BASSRA menyambut baik atas penanganan serius terhadap kasus aliran sesat Syiah. Akibat aliran sesat itu, pimpinan Syiah Kyai Tajul Muluk Basra telah divonis dua tahun penjara. ‘’Bila Tajul telah divonis sesat  maka pengikutnya harus kembali ke Aswaja atau ditindak sebagaimana Tajul Muluk,’’ kata Ali .

Ali menjelaskan masyarakat di wilayah itu menginginkan agar desa mereka seperti desa lain tidak ada aliran Syiah. Karena itu, masyarakat disana mendesak ulama agar menyampaikan tuntutan ini kepada pemerintah.

Selanjutnya, pada 7 Agustus 2012, ulama BASSRA menemui Forum Pimpinan Daerah (FORPIMDA) Sampang. Dalam pertemuan itu, ulama dan FORPIMDA membuat enam kesepakatan. Pertama, mengembalikan pengikut Tajul ke Aswaja sedang diupayakan oleh gabungan Kapolres, Nahdlatul Ulama (NU) dan MUI.

Kedua, Kapolres harus mengaktifkan pelarangan  senjata tajam di Karanganyem. Ketiga, anak-anak warga Syiah yang dibeasiswakan ke pondok-pondok Syiah adalah tanggung jawab  Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sampang. Pemkab Sampang bertugas untuk memulangkan dan memasukkan ke pondok-pondok Aswaja dengan biaya dari Pemkab.

Keempat, Ulama BASSRA bersama pemerintah Sampang akan mengawal naik banding Tajul Muluk melalui menemui Gubernur Jatim. Kelima, khusus untuk jangka pendek, kasus Sampang disepakati tidak mengangkat sebutan Syi’ah, cukup sebutan aliran sesat agar proses hukum Tajul Muluk berjalan lancar. Keenam, mengupayakan agar BAKORPAKEM Sampang bisa memutuskan dan menyetapkan bahwa Syiah itu sesat. Keputusan itu juga harus diajukan ke BAKORPAKEM Jawa Timur bahkan ke Pusat.

Seiring waktu berlalu, masyarakat Karanggayem kembali menuntut penanganan kasus sesatnya Syiah pada 23 Agustus 2012. Masyarakat menilai belum terlihat penanganan dari pihak manapun.

Namun, konflik akhirnya terlanjur pecah sebelum ulama BASSRA menemui Pemkab Sampang. Konflik itu, dipicu oleh anak-anak Syiah yang dipondokkan di YAPI Bangil dan Pekalongan. Para anak-anak Syiah itu, hendak berliburan lebaran di kampung halamannya.

Tetapi, tiba-tiba bus yang hendak menjemput mereka dihadang oleh masyarakat. Karena tidak terima, kaum Syiah kemudian menyerang dengan bom molotov dan terjadilah bentrokan. Lalu, kaum Sunni dari luar desa pun berdatangan. Karena banyaknya massa aparat kepolisian tidak dapat mencegah bentrokan tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement