REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM (PUKAT FH UGM), Oce Madril menilai kepolisian telah melakukan obstruction of justice. Hal itu, menyusul masih bersikukuhnya polisi melakukan penyidikan bahkan menahan para tersangka pengadaan driving simulator.
Padahal penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan driving simulator oleh kepolisian telah ditindaklanjuti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satu buktinya, ditetapkannya Irjen Djoko Susilo (mantan Kakorlantas Polri) dan tiga orang lainnya sebagai tersangka. Sedang Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri (Bareskrim Mabes Polri) juga menetapkan lima tersangka baru dalam kasus yang sama.
Langkah polisi ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terutama pasal 50 (3) dan (4).
"Dalam ayat 3 itu disebutkan bahwa ketika KPK sudah mulai melakukan penyidikan, kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan," kata Oce di kantor PUKAT FH UGM Yogyakarta, Senin (6/8).
Sementara pada ayat 4 dalam undang-undang itu juga disebutkan ketika proses penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan KPK, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan. Dalam undang-undang tersebut jelas ada kewenangan khusus bagi KPK untuk melakukan penyidikan suatu perkara korupsi.
"Jika melihat undang-undang tersebut maka jelas polisi dan kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. Konsekuensi yuridisnya adalah tindakan penyidikan yang dilakukan polisi saat ini cacat hukum," urai Oce.
Di tempat sama, peneliti PUKAT lainnya Hifdzil Alim menambahkan selain beberapa alasan hukum di atas, selama ini polisi juga memiliki rekam jejak yang buruk dalam menangani kasus korupsi.
Banyak kasus yang 'menguap' di tengah jalan. Ia mencontohkan kasus rekening gendut Jenderal Polisi, perkara mafia hukum dan pajak Gayus Tambunan, serta kasus pengadaan jaringan radio komunikasi dan alat komunikasi Mabes Polri tahun 2002-2005 yang merugikan keuangan negara.
"Dengan rekam jejak yang buruk tersebut serta sesuai undang-undang maka secara hukum polisi harus menghentikan penyidikan kasus ini. Sikap polisi ini juga menunjukkan mereka telah melakukan obstruction of justice atau perbuatan yang menghalang-halangi proses penegakan hukum," kata Hifdzil.
Dalam kesempatan itu Hifdzil berharap agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa turun tangan agar tarik-menarik dalam proses penegakan hukum antara KPK dan kepolisian tidak berkepanjangan.
Presiden juga harus membuktikan komitmen antikorupsi dengan mendukung penuh KPK dan memerintahkan Polri untuk menyerahkan kasus itu kepada KPK.
"Jangan sampai masih ada istilah tak mau intervensi penegakan hukum karena sikap Presiden itu justru akan memperpanjang konflik KPK-Polri," pungkas Hifdzil.