REPUBLIKA.CO.ID, JAMBI - Sultan Kesultanan Melayu Jambi Raden Abdurrahman Thaha Syaifudin mengingkapkan dirinya telah mengadukan kepada PBB mengenai berbagai pelanggaran yang dilakukan pemerintah dan perusahaan terhadap hak masyarakat adat dan keturunan kerajaan Melayu Jambi.
"Secara lisan kita sudah adukan kondisi merugi yang menimpa masyarakat adat dan keturunan Kesultanan Melayu Jambi kepada PBB khususnya terhadap pelanggaran-pelanggaran hak masyarakat adat dan keluarga kerajaan, alhamdulillah PBB merespon positif kondisi ini," kata Sultan Jambi, Raden Abdurrahman Thaha Syaifudin di Jambi, Rabu (1/8).
Di katakan Sultan, adapun bentuk pelanggaran yang dilaporkan tersebut yang paling mendasar adalah pelanggaran di bidang agraria seperti perampasan lahan atau tanah kerajaan dan keluarga kerajaan yang dilakukan pemerintah dan perusahaan.
"Salah satu contohnya adalah lahan milik keluarga kerajaan di Tebo Ulu Kabupaten Tebo di dekat Taman Nasional Bukit 30 seluas 7.500 hektare yang kini telah menjadi milik sebuah perusahaan log (kayu) semenjak 10 tahun lalu yang merampas tanah tersebut dari masyarakat dengan berbekal surat izin dari Kemenhut dan gubernur serta bupati setempat," ungkap Sultan.
Padahal, tambah dia, lahan tersebut berstatus hutan konservasi semenjak pemerintahan penjajahan Hindia Belanda, yang artinya samasekali tidak boleh diganggu oleh pihak mana pun apalagi oleh perusahaan log.
Menurut Sultan, pelaporan yang disampaikannya tersebut mendapat respon positif dari PBB dengan mengutus perwakilan dari Unicef untuk turun langsung ke lokasi guna mengecek kondisi real atas perampasan lahan kerajaan dan masyarakat adat berstatus hutan lindung konservasi tersebut. Ia juga mengaku pelaporan dugaan pelanggaran hak masyarakat adat dan keluarga kerajaan tersebut terpaksa dilakukannya karena segala upaya yang telah dilakukannya sampai ke Kemenhut menemui jalan buntu, tanpa adanya solusi setelah pengusutan berkesnimbangan yang dilakukan Kemenhut dan Pemprov Jambi.