Rabu 25 Jul 2012 01:00 WIB

Wes Ewes Ewes Bablas Surveinya (II) Dinamika Waktu

Rep: harun husein / Red: M Irwan Ariefyanto
Peneliti Utama Lembaga Survei Indonesia (LSI) Saiful Mujani (kiri) dan Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk saat peluncuran hasil survei terbaru LSI di Jakarta.
Foto: Antara/Widodo S. Jusuf
Peneliti Utama Lembaga Survei Indonesia (LSI) Saiful Mujani (kiri) dan Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk saat peluncuran hasil survei terbaru LSI di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID,Apa yang sesungguhnya terjadi? Mengapa hasil survei begitu jumpalitan? Belum ada jawaban tunggal yang bisa dijadikan pegangan. Yang bermunculan adalah teori dan dugaan-dugaan. Tapi, satu hal yang pasti, survei-survei yang digelar tersebut, berhenti sekitar 10 hari menjelang pencoblosan (H-10). Artinya, apapun bisa terjadi pada periode tersebut, yang bisa membuat pilihan orang berubah.

Kasus seperti ini pernah terjadi pada Gallup Poll, saat gagal memprediksi hasil pemilu presiden AS tahun 1976. Saat itu, Gallup memprediksi Gerald Ford (Republik) akan unggul dengan 49 persen, sedangkan rivalnya Jimmy Carter meraih 48 persen. Ternyata, hasil pemilu aktual mem perlihatkan Carter menang dengan meraih 50,1 persen, dan Ford hanya 48,1 persen. Ke keliruan ini, masih menjadi pembahasan menarik hingga saat ini.

Allan J Lichtman, dalam The Keys to The White House: A Surefire Guide to Pre dicting the Next President mengatakan hasil polling Gallup tersebut tidak dapat disalahkan. Sebab, ada jeda waktu sejak polling distop dan saat pemungutan suara dimulai. “Opini masyarakat bisa saja berubah pada saat itu,” katanya. Dalam kasus pemilukada DKI, survei dengan metode tatap muka paling akhir digelar oleh Jaringan Suara Indonesia (JSI), yaitu 28 Juni hingga 2 Juli. JSI mengumumkan hasilnya pada 6 Juli, tiga hari menjelang minggu tenang, dengan pasangan Foke-Nara meraih 49,6 persen, sedangkan Jokowi Ahok 15,8 persen. Di belakang JSI, ada Lingkaran Survei Indonesia (LSI). LSI mengumumkan hasil survei terakhirnya pada 1 Juli. Survei itu di laksanakan pada periode 22-27 Juni. Saat itu, hasilnya Foke-Nara unggul dengan 43,7 per sen, sedangkan Jokowi-Ahok hanya 14,1 persen.

Pendiri Lembaga Survei Indonesia (LSI), Saiful Mujani, mengatakan ke ke liruan yang terjadi bukan karena surveinya. “Itu sudah kami teliti,” katanya.

Dia berdalih, kesalahan terjadi karena lembaga survei luput merekam dinamika yang berubah cepat seminggu terakhir menjelang pemungutan suara. Seharusnya, kata dia, perubahan itu terus direkam. “Tapi, kan kemampuan kami melakukan itu terbatas,” kata Mujani, yang mengaku belum mengetahui apa penyebab perubahan besar-besaran itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement