REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menggunakan jalur Mutual Legal Assistance (MLA) untuk mengupayakan pemulangan terpidana kasus "cassie" Bank Bali Djoko Tjandra yang menjadi warga negara Papua Nugini.
"MLA memang biasa menjadi kewajiban negara-negara yang mempunyai kesepahaman untuk saling membantu, itu yang kita lakukan dalam hubungan bilateral dan mudah-mudahan dapat terwujud," kata Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin di Jakarta, Kamis.
Mutual Legal Assistance (MLA) atau perjanjian saling bantuan hukum adalah perjanjian antara dua negara asing untuk tujuan informasi dan bertukar informasi dalam upaya menegakkan hukum pidana.
"Kejaksaan Agung melalui jalurnya juga sudah melakukan persiapan yang sama," tambah Amir.
Ia mengaku bahwa Indonesia tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Papua Nugini sehingga cara yang diambil pemerintah adalah melalui MLA.
"Saya katakan kita menggunakan instrumen MLA tapi kita tidak bisa mencampuri sistem hukum di negara lain," jelas Amir.
Artinya, menurut Amir, keputusan tetap di tangan pemerintah Papua Nugini dalam mempertimbangkan permintaan MLA dari Indonesia sesuai aturan dan kedaulatan hukum negara tersebut.
Namun terkait respon dari Papua Nugini, Amir mengatakan harus ditanyakan kepada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham.
"Kita tentu tidak bisa mengatur waktu mereka merespon MLA itu," tambah Amir.
Sebelumnya, Wakil Jaksa Agung Darmono mengatakan pihaknya akan kembali menghubungi duta besar Papua Nugini mengenai kepastian beralihnya kewarganegaraan Djoko Tjandra.
Djoko Tjandra sebelumnya diberitakan masuk dalam sejumlah warga asing yang pekan lalu diberi akta kewarganegaraan oleh Komite Penasihat Immigrasi dan Kewarganegaraan Papua Nugini.
Djoko Tjandra meninggalkan Indonesia dengan pesawat sewaan dari Bandara Halim Perdanakusumah di Jakarta ke ibu kota Port Moresby pada 10 Juni 2009, hanya satu hari sebelum Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan keputusan atas perkaranya.
Djoko Tjandra yang kini berstatus buron Kejaksaan Agung adalah terpidana dua tahun perkara cessie (pengalihan hak yang mengakibatkan terjadinya pergantian kreditur) Bank Bali.
Selain hukuman penjara, mantan Direktur Era Giat Prima itu juga harus membayar denda Rp15 juta serta dana di Bank Bali sebesar Rp546.166.116.369 diambil kepada negara.