REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR-- Puluhan orang berkemeja merah hitam yang mengatasnamakan diri sebagai Gerakan Rakyat Bogor Bersatu (GRB2) menggelar aksi demo di stasiun Bogor pada Selasa (10/7). Mereka meminta pemerintah tidak menaikkan harga tiket kereta Commuter Line. Mereka meminta PT KAI tidak menjadikan sarana umum kereta api listrik (KRL) itu sebagai ajang bisnis.
“Apa yang akan dilakukan oleh pemerintah tidak sejalan dengan ajakan mereka sendiri agar masyarakat menggunakan transportasi umum,” ucap orator aksi.
Menurut mereka, rencana pemerintah yang akan menaikkan tarif KRL dari Rp 7 ribu menjadi Rp 9 ribu pada 1 Oktober memberatkan rakyat kecil. Mereka menyadari bahwa masyarakat dapat memilih moda kereta jenis ekonomi. Namun, mereka menilai, ada yang 'dimainkan' oleh pengelola. “Coba saja kita lihat, kereta ekonomi semakin dibatasi, rakyat dipaksa menggunakan KRL yang tarifnya terus melambung.”
Dalam dialog perwakilan GRB2, Harry Ara, dengan wakil kepala stasiun, Enjang Syarief Budiman, dijelaskan soal kebijakan kenaikan tarif Commuter Line. “Sebetulnya tarif KRL harus sudah naik jauh-jauh hari,” ucap Enjang.
Dirinya menyampaikan, dalam Peraturan Menteri nomor 35 Tahun 2010, tarif KRL harus ada diangka Rp 9 ribu. Akan tetapi ia mengeklaim terjadi diskon yang sengaja diberikan untuk masyarakat sehingga harga tiket KRL menjadi Rp 7 ribu seperti saat ini.
Lagipula menurutnya pihak PT KAI akan meningkatkan pelayanan seiring dengan kenaikan tarif ini. Ia menambahkan, kondisi kereta ekonomi semakin dimakan usia dan tak lagi dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Bila menilik dari aspek keamanan dan kenyamanan penumpang jelas dibutuhkan gerbong baru yang menunjang. “Maka dari itu PT KAI bermaksud membuat masyarakat lebih nyaman melalui KRL,” ujarnya.