REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA -- Ratusan ulama se-Indonesia dalam sidang pleno sekaligus penutupan Ijtima Ulama ke-IV di Pondok Pesantren Cipasung, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Minggu (1/7) malam, menyepakati aset milik koruptor dari hasil korupsi dapat dirampas oleh negara dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat.
"Masalah perampasan aset koruptor, peserta ijtima sepakat, aset koruptor yang terbukti secara hukum hasil korupsi harus diambil oleh negara dan diperuntukan untuk kemaslahatan umum," kata Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Asrorun Niam.
Namun ketika aset koruptor tidak terbukti secara hukum sebagai hasil korupsi, tetapi koruptor tidak dapat membuktikan legalitasnya bukan hasil korupsi, kata Asrorun berdasarkan kesepakatan dan kajian para ulama, negara berhak mengambilnya.
"Aset itu tidak terbukti secara hukum hasil korupsi, tetapi yang bersangkutan tidak mampu membuktikan legal, maka itu juga dirampas," jelas Asrorun.
Ulama yang tergabung dalam komisi B dan berjumlah sekitar 200 orang, bukan hanya membahas masalah perampasan aset koruptor, tetapi membahas juga masalah pencucian uang. Hasil diskusi para ulama itu sepakat bahwa pencucian uang harus ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku, karena sudah masuk hukum pidana tentang penipuan dan penggelapan.
"Poin yang berikut tindak pidana pencucian uang, dari sekian materi yang dibahas, diantaranya pencucian uang, itu adalah penipuan juga penggelapan masuk kategori tindak pidana," kata Asrorun.
Ijtima ulama itu diselenggarakan mulai Jumat (29/6) yang dibuka langsung oleh Wakil Presiden Indonesia, Boediono dihadiri para pimpinan MUI dan Menteri Agama Suryadharma Ali.
Hasil keputusan ijtima ulama itu, selanjutnya akan diserahkan kepada kepala negara dan DPR RI.