REPUBLIKA.CO.ID, Kakao (coklat) kini menjadi primadona dari beragam hasil hutan yang ada di Papua. Di pasaran internasional, pasta coklat dari Jayapura bisa mencapai harga 30 dolar AS per kilogram. Harga yang sama juga berlaku di Jepang.
“Dalam tiga bulan, kami mengekspor 11 ton coklat melalui Alter Trade Japan (ATJ),” ujar Ketua Koperasi Serba Usaha (KSU) Namblong Indah Mandiri, Jayapura, Bernard Giay, pada Kongres Asosiasi Wirausaha Kehutanan Masyarakat Indonesia (AWKMI) di Semarang, beberapa waktu lalu.
Padahal, jelasnya, ekspor coklat 11 ton itu hanya didapat dari sekitar tiga ribu hektar kebun. Sedangkan di Jayapura terdapat setidaknya 22 ribu hektare kebun kakao. Pada saat ekspor ke Jepang, coklatdi Jayapura diserang hama, “Jika saja hama tertangani dan jangkauannya lebih luas,tentu ekspornya lebih besar,” jelas Bernard.
Ia menambahkan, koperasi yang diketuainya baru beroperasi sejak Oktober 2011. Wilayahnya meliputi Jayapura bagian selatan, Distrik Kemtuk, Kemtukgresi, Nimboran, Namblong, dan Nimbokrang. Daerah-daerah tersebut lazim disebut Grimenawa, pusat produksi kakao Jayapura.
Koperasi ini telah menampung biji kakao basah lalu menjualnya ke pasar. KSU Namblong juga mendampingi anggotanya untuk mengakses pasar danmeningkatkan kualitas hasil kebun. Salah satunya dengan sertifikasi organik yang didapat anggota. Dengan begitu, para petani menerima insentif berupa harga yang lebih tinggi dari tengkulak.
Namun Bernard dan teman-teman masih kesulitan mengolah coklatnya. Selama ini, ia hanya mengirim biji kering kemudian diolah oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka ), Jember (Jawa Timur). Ia berharap, dengan Asosiasi Wirausaha Kehutanan Masyarakat Indonesia (AWKMI), bisa meningkatkan kemampuan petani serta mengakses pasar yang lebih luas. ”Dengan terbentuknya AWKMI dapat lebih meningkatkan kemampuan petani dan menjangkau pasar yang lebih luas lagi,” harapnya.