REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA —- Wakil Ketua MPR, Hajriyanto Y Thohari, menilai maraknya nama tokoh militer dalam bursa calon presiden 2014 itu sebagai konsekuensi logis kekecewaan rakyat terhadap kepemimpinan sipil, terutama yang ada di partai politik. Kekecewaan tersebut, karena banyak pemimpin sipil yang terjerat kasus korupsi.
Ini merujuk pada survei yang menunjukan, popularitas dan kepercayaan publik terhadap partai perpanjangan tangan sipil di politik sangat rendah. ‘’Konsekuensinya, itu mendorong sikap publik mencari mencari antitesisnya, yaitu ke militer. Kita tidak mendengar sama sekali adanya kasus korupsi di TNI,’’ katanya ketika dihubungi, Kamis (7/6).
Selama ini, lanjut dia, tak ada kasus di KPK yang melibatkan TNI. Ini membuat publik memandang kalau TNI itu solid. Tak hanya dalam pengertian organisasi dan kekompakan di antara mereka, tapi juga secara moral. Karena itulah, sosok militer yang dicari dan masuk sebagai alternatif.
Selama ini, papar Hajriyanto, sipil-militer dalam politik seperti bejana berhubungan. Jika satu naik, yang lain akan turun. Ini terlihat ketika awal reformasi bergulir saat semua kepemimpinan nasional dikuasai sipil dan militer hampir tak mendapat tempat.
Namun, begitu memasuki tahun ke enam reformasi, konstelasinya mulai berubah. Kepercayaan terhadap sipil, kata dia, mulai menurun, sehingga akhirnya pada 2004 jenderal TNI naik menjadi presiden. ‘’Di 2009 kasus yang melilit tokoh sipil semakin banyak. Sehingga sampai sekarang semakin menjadi,’’ jelas Ketua DPP Partai Golkar tersebut.
Hajriyanto mengatakan, memang tak ada definisi statis mengenai figur kepemimpinan nasional. Karena persepsi publik selalu dinamis dan berkembang. Hanya variabelnya saja yang muncul di permukaan. Saat ini, lanjutnya, isu yang sangat dominan menjadi perhatian masyarakat, yaitu soal korupsi dan ketegasan. Karenanya, publik terdorong untuk mencari pemimpin yang dipersepsikan bersih dan tegas. Dua hal ini yang dipandang Hajriyanto dipersepsikan ada di militer.