Rabu 30 May 2012 07:05 WIB

Rapor Merah Kepung Pemprov DKI

Kemacetan Parah di Jakarta
Foto: Republika/Wihdan
Kemacetan Parah di Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika

                     

Khresna menggerutu setelah terjebak kemacetan panjang di sekitar Jalan Raya Warung Jati, Jakarta Selatan. Sinar matahari yang mulai menyengat semakin menambah deritanya.

Dia tidak menyangka meskipun jam sudah menunjukkan pukul 09.00 WIB, jalanan masih padat. Akhirnya, dia nekat menerobos masuk jalur busway, tetapi tetap saja terjebak macet.

Mobil pribadi dan ratusan sepeda motor yang terlihat menyemut juga masuk jalur yang seharusnya steril tersebut. Walhasil Transjakarta hanya bisa mengekor rombongan kendaraan pribadi yang menuju arah Mampang Prapatan. Petugas kepolisian yang berjaga di setiap perempatan pun tidak kuasa menghalau kendaraan.

“Sudah macet, panas pula. Mau bagaimana lagi, beginilah ‘wajah’ jalanan Jakarta,” katanya kepada Republika belum lama ini.

Bunyi klakson yang saling menyahut karena para pengendara ingin saling mendahului membuat Khresna semakin tertekan.

“Memang bikin stres sih, tapi tidak ada pilihan lain. Kita sebagai pengguna jalan hanya bisa mengumpat kepada penguasa,” kata pegawai swasta ini.

                                                                       ***

Kisah Khresna adalah secuil gambaran kehidupan di Ibu Kota. Kalau dicermati, memang banyak persoalan yang mendera DKI Jakarta. Semuanya mendesak untuk mendapat perhatian agar dibenahi oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.

“Tapi, saya rasa kemacetan yang paling harus segera dicarikan solusi secepatnya sekarang ini,” ujarnya.

Jika mengacu pada berbagai hasil lembaga survei, permasalahan di DKI Jakarta dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu kemacetan, kemiskinan, serta banjir.

Dari tiga problematika itu, kemacetan adalah persoalan yang harus segera ditangani karena hampir dijumpai di seluruh penjuru jalan raya dan menjadi ‘santapan’ masyarakat Ibu Kota sehari-hari. Apalagi, bila melihat perbandingan penambahan ruas jalan dan jumlah kendaraan bermotor.

Mengutip data pada Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) Polda Metro Jaya pada 2011, penambahan kapasitas jalan raya hanya sekitar 0,01 persen per tahun. Adapun setiap harinya, tercatat 1.000 sepeda motor dan sekitar 300 mobil baru turun ke jalanan. Diprediksi total kendaraan, baik umum maupun pribadi, yang berseliweran di jalanan Ibu Kota sekarang ini mencapai 8 juta unit.

Tidak seimbangnya antara jumlah ruas jalan dan pertambahan kendaraan pribadi membuat kemacetan menimbulkan kerugian. Potensi kerugian akibat kemacetan di DKI sekitar 45 triliun per tahun.

Angka itu dihitung dari kerugian terbesar karena kehilangan waktu yang diasumsikan Rp 14 triliun. Kerugian lainnya mencakup komponen biaya untuk bahan bakar kendaraan, hilangnya potensi ekonomi, dan pencemaran udara.

Seandainya permasalahan transportasi dapat ditangani, potensi kehilangan sebesar Rp 45 triliun itu bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur, penanganan masalah sosial, kesehatan, dan pendidikan. Sehingga permasalahan yang mendera sekitar 363 ribu warga miskin Ibu Kota, sebagaimana yang dipaparkan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo dalam acara evaluasi akhir tahun 2011, dapat dientaskan.

                                                                       ***

Rapor merah

Sayangnya, komitmen Foke—sapaan akrab Fauzi Bowo—untuk menyelesaikan persoalan di wilayahnya patut dipertanyakan. Buktinya, angka kemiskinan malah meningkat 3,75 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dengan jumlah penduduk sekitar 9,61 juta jiwa.

Sangat mungkin salah satu faktor kemiskinan itu disumbang dari kemacetan. Penilaian itu dikemukakan Wakil Ketua DPRD DKI Triwisaksana yang mengkritik kinerja Foke dalam mengatasi kemacaten dan mengentaskan kemiskinan masih mendapat rapor merah. Bahkan, Triwisaksana menuding Foke gagal menyelesaikan masalah kemiskinan di Ibu Kota.

Maka itu, dia menyarankan selama 2012, Foke seharusnya bekerja lebih giat dalam mengupayakan pengurangan angka kemiskinan dan membenahi transportasi di Jakarta.

“Sebutan DKI sebagai kota layak huni belum pantas disematkan,” kata politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.

Berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2010, DKI meraih skor 77,6. Angka tersebut naik tipis disbanding pada 2009, sebesar 77,36. IPM terbentuk dari tiga indikator, yakni pendidikan (aksebilitas pendidikan masyarakat dan angka melek huruf), kesehatan (angka harapan hidup dan sarana biaya berobat murah), dan nilai Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB).

Dibandingkan kota besar lainnya di Indonesia, IPM Jakarta paling tinggi. Meski begitu, jika perbandingannya dengan ibu kota negara tetangga, DKI jauh tertinggal. Misal, Singapura yang memiliki IPM di atas angka 90.

Kota yang memiliki IPM di atas 90 berarti termasuk kategori sejahtera dan nyaman untuk dijadikan wilayah hunian. Perbandingan lainnya adalah dengan Kuala Lumpur yang memiliki IPM di atas 80 dan dianggap sebagai standar kota besar layak huni di berbagai negara. Persoalan yang dihadapi DKI belum sepenuhnya tertangani, kalau tidak boleh dikatakan terabaikan.

Mantan gubernur DKI Sutiyoso mempertanyakan langkah Foke yang tidak meneruskan kebijakannya untuk mengembangkan Transjakarta. Dia menyaksikan sendiri Transjakarta yang ada sekarang pada reyot sebab sudah delapan tahun tidak diperbarui.

“Apa takut nanti dianggap kebijakannya mengekor saya? Membangun jembatan layang malah bikin macet,” katanya.

                                                                           ***

Pengamat transportasi Yayat Supriatna mengatakan, jika mengacu pada Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 103 Tahun 2007 tentang Transportasi Makro Jakarta, seharusnya saat ini Jakarta sudah memiliki 15 koridor busway. Karena sejak 2008, sudah terbentuk delapan koridor busway dan tujuh sisanya diselesaikan dua tahun berselang.

Yayat yakin kalau 15 koridor busway terealisasi maka setidaknya salah satu masalah transportasi Jakarta bakal terpecahkan. Pasalnya jumlah warga yang menggunakan transportasi umum dipastikan meningkat dan otomatis mengurangi kemacetan.

Namun yang terjadi, kata dia, baru 11 koridor yang terealisasi. Sehingga masih tersisa empat koridor yang menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. “Ini menjadi pertanyaan besar, apakah Pemprov DKI serius membangun jalur busway? Mereka perlu menjelaskannya ke publik,” ujar Yayat. Dia berani menilai kalau masalah kemacetan ini semakin parah karena tidak adanya komitmen dari pemerintah untuk mencoba menyelesaikannya.

Tiadanya prosedur standar pelayanan minimum (SPM) yang diterapkan Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta membuat publik dirugikan. Hal itu berdampak pada tidak optimalnya Transjakarta dalam mengangkut penumpang.

Dia mencontohkan, kedatangan Transjakarta sering telat hingga membuat penumpang menumpuk dan stres. “Jadi, persoalan manajemen transportasi ini perlu diperhatikan,” kata dia.

                                                                       ***

Berbagai kritikan yang dialamatkan kepadanya, tidak membuat Foke ambil pusing. Dia enggan berpolemik dan memilih menjawabnya melalui buku Rangkuman Prestasi Fauzi Bowo.

Dalam buku yang peredarannya terbatas itu, Foke menguraikan tantangan untuk membenahi berbagai masalah yang membelit Jakarta, khususnya transportasi.

 

Dia menjelaskan jumlah kendaraan meningkat sebesar 9,5 persen per tahun, sedangkan ruas jalan hanya 0,01 persen. Kecepatan kendaraan pun rata-rata hanya bisa ditempuh sekitar 15-20 kilometer per jam.

Salah satu capaiannya adalah menambah panjang jalan dengan membangun jalan bertingkat. Foke juga mengklaim berhasil menguraikan simpul-simpul kemacetan melalui pelebaran jalan serta penambahan koridor Transjakarta.

“Saya kan tidak jual janji,” kata pria berkumis tersebut.

Namun, persoalan kemacetan di Jakarta masih belum terselesaikan hingga kini. Dan, ramalan banyak pihak bahwa pada 2014 akan terjadi kelumpuhan total di jalan raya bisa saja menjadi kenyataan.

Jika sudah begitu, seperti ucapan Khresna. “Kita hanya bisa mengumpat kepada gubernur!”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement