REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pemerintah Indonesia memberikan grasi atau pengurangan hukuman kepada terpidana kasus narkotika asal Australia Schapelle Corby dengan harapan WNI (warga negara Indonesia) yang ditahan Australia dibebaskan. Alasan pemerintah Indonesia tersebut dinilai janggal.
Menurut Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana kejanggalan pertama adalah para WNI yang ditahan otoritas Australia adalah para nelayan yang karena upah tidak seberapa melakukan penyeberangan bagi imigran gelap dari Indonesia ke Australia.
Para nelayan bukanlah pimpinan sindikat atau aktor intelektual sehingga kejahatan yang dilakukan tidak sepadan dengan kejahatan yang dilakukan Corby yang dapat merusak generasi muda bangsa.
Kedua, lanjut Hikmahanto, tanpa pemberian grasi kepada Corby sekalipun, otoritas Australia akan mengembalikan para nelayan. Hal tersebut lantaran jumlah mereka yang ratusan telah menjadi beban tersendiri. "Baik secara keuangan maupun fasilitas penampungan di Australia," kata Hikmahanto kepada Republika, Kamis (24/5) pagi.
Bahkan, lanjut Hikmahanto, pemerintah Australia di mata dunia dianggap melanggar HAM karena sebagian para nelayan ditahan tanpa diketahui kapan akan disidang. Kesepakatanan antara pemerintah Australia dengan pemerintah Indonesia untuk mengembalikan para nelayan adalah pemerintah Indonesia akan melakukan proses hukum terhadap mereka sesampainya di Indonesia.
Oleh karena itu, masih menurut Hikmahanto, pemerintah Australia telah 'memesan' pasal dalam UU Imigrasi yang baru untuk mengkriminalkan para pelaku penyelundupan manusia, termasuk para nelayan. "Penghukuman ini diharapkan menjadi efek jera bagi para nelayan," kata Hikmahanto.
Alasan ketiga yang membuat janggal adalah seorang Corby seolah dibarter dengan ratusan tahanan asal Indonesia. Disini ada diskriminasi terhadap warga sendiri. "Seorang warga Australia dihargai dengan ratusan WNI, " kata Hikmahanto.
Keempat, apabila benar bahwa ada 'barter' dalam pemberian grasi Corby maka pemerintah telah melakukan hubungan antar negara yang bersifat transaksional namun tidak sebanding. Australia lebih banyak mendapat keuntungan daripada Indonesia.
Oleh karenanya, lanjut Hikmahanto, pemerintah belum memberi alasan kuat yang dapat meyakinkan publik bahwa Indonesia mendapat keuntungan yang setara dengan Australia. Bahkan dengan pemberian grasi, Pemerintah telah menempatkan posisi Indonesia sebagai negara besar dalam posisi yang lemah. Indonesia melalui para penyelenggara negaranya harus menyerah pada tekanan Australia.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan grasi atau pengurangan masa tahanan kepada terdakwa kasus narkoba asal Australia, Schapelle Leigh Corby. Presiden memberikan Corby grasi lima tahun dari total vonis penjara selama 20 tahun.
Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi mengatakan, Grasi dari Presiden ini mempertimbangkan sistem hukum Indonesia dan warga negara Indonesia (WNI) di Australia yang juga tengah menjalani masa hukuman di sana.
Corby divonis selama 20 tahun oleh Pengadilan Negeri Denpasar, karena terbukti membawa marijuana atau ganja seberat 4,2 kilogram saat berkunjung ke Bali. Dia kini ditahan di Penjara Kerobokan Bali.