REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah tidak takut disebut negara surga narkoba pasca pemberian grasi kepada Corby, terpidana yang membawa 4,2 kg ganja ke tanah air. Terlebih lagi keputusan tersebut tidak diberikan secara mudah dan membutuhkan waktu yang lama.
“Dalam mengambil keputusan ini, Bapak Presiden membutuhkan waktu yang sangat lama. Saya tidak tahu persis tetapi yang sering saya ikuti bahwa ini sering dibahas, dipertimbangkan,” kata Staf khusus presiden bidang hubungan internasional, Teuku Faizasyah, Rabu (23/5).
Pada masa-masa itulah diambil kesimpulan aspek kemanusiaan harus menjadi pertimbangan sebelum pemberian grasi terhadap perempuan asal Australia tersebut.
Menteri Sekretaris Negara, Sudi Silalahi pun menolak jika pemberian grasi ini sama artinya dengan memberikan toleransi atas kasus narkoba. Meski salah satu alasannya pemberian grasi tersebut karena Corby ‘hanya’ membawa ganja ke tanah air. “Oh tidak, tidak (menolerir kasus narkoba),” katanya.
Ia mengatakan keputusan memberikan grasi pada Corby berdasarkan pertimbangan dari Mahkamah Agung dan menteri-menteri terkait. “Saya sudah bilang itu (ganja) itu salah satu pertimbangan,” katanya.
Sudi juga kembali menegaskan keputusan ini tidak serta merta membuat warga negara indonesia yang ditahan di Australia mendapatkan perlakuan serupa meski harapan itu tetap ada. Menurutnya, hal tersebut tidak bisa dilihat secara matematis.
“Warga kita juga sudah banyak yang mendapat pengampunan, tentu sejauh itu wajar dan patut sesuai dengan pertimbangan,” katanya.
Schapelle Leigh Corby adalah perempuan asal Australia yang divonis 20 tahun penjara karena membawa ganja seberat 4,2 kilogram ke Bali. Ia telah menjalani masa tahanan selama 7 tahun dan beberapa kali mendapatkan remisi. Puncaknya, pada tahun ini, ia mendapatkan grasi selama lima tahun. Padahal sebelumnya permohonan grasi serupa sempat ditolak oleh pemerintah Indonesia.