REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan, tidak mudah untuk menjatuhkan presiden dari jabatannya, karena tidak cukup hanya dengan pertimbangan politik semata, melainkan juga faktor kesalahan di bidang hukum.
"Kalau mau menjatuhkan presiden, tidak cukup hanya dengan 'kesalahan politik', dan harus ada kesalahan hukum," katanya dalam diskusi politik "Sistem Ketatanegaraan Presidensial" yang dilaksanakan Korps Alumni HMI di Medan, Kamis (17/5) malam.
Dulu, kata Mahfud, faktor tidak sejalannya kepentingan politik dengan kekuatan tertentu dapat menjatuhkan presiden dari jabatannya.
Ia mencontohkan peristiwa yang dialami Soekarno dan Abdurrahman Wahid yang diberhentikan setelah mendapatkan persetujuan dari dua per tiga anggota MPR.
Namun seiring perjalanan waktu dan semakin menguatnya proses hukum, keinginan politik seperti itu tidak dapat dilakukan lagi meski mendapatkan dukungan dua per tiga anggota MPR.
Jika MPR berkeinginan menjatuhkan presiden melalui "impeachment", prosesnya harus disampaikan ke MK untuk melihat kesalahan hukum yang terjadi. "Kalau tidak ada kesalahan hukumnya, MK juga akan menolak (impeachment)," katanya.
Dalam penjelasan UUD 1945 Pasal 7 disebutkan, Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat dijatuhkan dengan lima hal, yakni terlibat dalam korupsi, penyuapan, pengkhianatan terhadap negara, kejahatan besar yang memiliki ancaman hukuman lima tahun penjara, dan melakukan perbuatan tercela.
Karena itu, kata Mahfud, Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia sangat kuat dan tidak dapat dijatuhkan meski berbeda persepsi dengan MPR, DPR, atau partai politik tertentu.
Namun sayangnya, pihaknya melihat kepemimpinan nasional saat ini terkesan "gamang" dan takut dijatuhkan sehingga sering merasa ragu dalam mengambil keputusan.
Salah satu indikasi gamangnya kepemimpinan nasional tersebut dapat dilihat dari belum adanya kebijakan pemerintah terhadap rencana kenaikan harga BBM.
"Padahal, kalau pun menaikan harga BBM, presiden juga tidak bisa dijatuhkan," katanya.