Ahad 13 May 2012 21:49 WIB

'Jurnalis Harus Empati Pada Keluarga Korban'

Rep: A.Syalaby Ichsan/ Red: Hafidz Muftisany
Salah satu keluarga korban hilangnya pesawat Sukhoi Super Jet 100 menenangkan anggota keluarga lainnya usai melihat daftar nama keluarganya termasuk dari 44 penumpang yang hilang di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (9/5).
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Salah satu keluarga korban hilangnya pesawat Sukhoi Super Jet 100 menenangkan anggota keluarga lainnya usai melihat daftar nama keluarganya termasuk dari 44 penumpang yang hilang di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (9/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Awak media diminta berempati kepada keluarga korban Sukhoi Superjet 100. Shinto, psikolog himpulan psikologi Indonesia, mengungkapkan pemberitaan yang bombastis dapat mengakibatkan trauma tidak hanya kepada keluarga korban, tapi juga kepada publik.

"Wartawan seharusnya memberikan empati kepada keluarga korban. Saat datang dari kota kesini kemudian menangis, apakah etis wartawan mengkerubuti untuk ambil gambar,"ungkap Shinto di bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Ahad, (13/5).

Tidak hanya teknik peliputan, Shinto menyoroti pemberitaan di beberapa media yang kerap keluar dari batas etika. Menurutnya, penayangan gambar dan pemilihan kata yang provokatif dapat membuat keluarga korban mengalami trauma.

Oleh karena itu, Shinto meminta kepada jurnalis untuk memperhatikan kondisi dan bahasa tubuh narasumber, memberikan pengertian kepada keluarga korban dengan ungkapan simpatik, menghindari pertanyaan yang mencecar, dan lebih banyak mendengarkan korban ketimbang berbicara.

Dalam menulis atau menayangkan berita, Shinto meminta agar jurnalis memilih kata yang menenangkan. Pun saat memilih foto dan menayangkan gambar. "Sebaiknya hindari pengulangan tayangan gambar atau foto,"ujarnya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement